"Mukidi" disutradarai oleh Anggy Umbara dan diproduksi oleh MD Pictures bekerjasama dengan Umbara Brothers Production, yang sudah tayang di Prime Video sejak 11 April 2024. Dengan para pemain ternama seperti: Gading Marten, Della Dartyan, Joshua Suherman, dan Arief Didu, "Mukidi" tampak sekali ingin melucu. Ini adalah film adaptasi dari lelucon internet yang populer dan diubah menjadi buku, "Mukidi", yang ditulis oleh Soetyanto Moechlas.
Film berdurasi sekitar 91 menit, berkisah tentang seorang analis kredit bernama Mukidi (Gading Marten) yang terkenal karena kebaikannya. Namun, kebaikan Mukidi menjadi pisau bermata dua ketika dia mulai dimanfaatkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Mukidi, dengan segala kebaikan hatinya, seringkali menemukan dirinya dalam situasi sulit karena mudah dimanipulasi oleh orang-orang di sekitarnya yang memanfaatkan kebaikannya untuk kepentingan pribadi.
Ulasan:
Kukira saat membaca sinopsis dan membaca jajaran pemainnya, dengan genre komedi, filmnya bakal bikin terpingkal-pingkal atau minimal bisa menghiburku. Namun, nggak disangka-sangka, film ini jauh dari prediksi.
Aku yakin, selepas beberapa hari filmnya tayang, Film Mukidi telah memunculkan beragam reaksi dari penonton, dan di sinilah reaksiku bakal kalian baca. Ya, anggaplah ini film komedi cringe! Serangkaian tek-tok-an dan joke-nya berakhir gagal.
Biarpun begitu, Gading Marten, yang memerankan tokoh utama Mukidi, memberikan penampilan oke, sih. Dia memang aktor berbakat, tapi untuk soal komedi, sepertinya harus menggali lebih dalam lagi.
Aku sebagai penonton yang jarang nonton film komedi, apalagi diriku juga nggak bisa berkomedi ria, ingin rasanya bisa tertawa dan terhibur melihat aksi para bintangnya, tapi anehnya, aku sulit untuk bisa suka dan tertawa lepas nonton ini film. Apakah standar kelucuan dan komediku nggak masuk dalam film ini? Bisa jadi.
Seperti kataku tadi, penampilan Gading Marten itu oke, tapi untuk urusan dialog dan aksen medok-nya kayak nggak konsisten gitu, dengan latar belakang karakternya yang Jawa.
Scene paling gagal, itu seputar joke ranjang pasutri di depan anak-anaknya. Menurutku itu nggak banget! Kayak kekurangan materi atau memang naskah dan penulis skripnya kurang eksplorasi. Padahal bisa saja mengganti joke itu dengan lainnya.
Aku memang nggak bisa kasih contoh joke macam apa untuk menggantikan scene itu, tapi sebagai penonton, jelas punya hak berpendapat. Minimal, ini menjadi kritik untuk ke depannya biar tim di balik layar bisa lebih cermat lagi memilah scene maupun konten yang bakal dimuat.
Salah satu hal yang masih bisa diapresiasi dari "Mukidi" adalah penanganan terhadap fenomena pinjaman online (pinjol). Paham, ya, ini film nggak buruk-buruk banget kok. Ada di mana, film ini berhasil merepresentasikan realitas sosial, kayak fenomena pinjam online yang termuat dalam film ini.
Biarpun itu nggak digali lebih dalam, alias cuma diada-adakan, kayak semacam jadi kulit luarnya saja, tapi dari scene ini filmnya jadi cukup bergerak dan lumayan menarik diikuti.
Pokoknya, perlu kutekankan. Penilaian sebuah film itu hanyalah soal selera. Bisa jadi kamu menganggap ini film sangat menghibur, dan itu sama sekali nggak masalah. Perbedaan dalam hidup itu indah, kok.
"Dengan demikian, skor dariku: 5/10. "Mukidi" mungkin bukan film yang sempurna, tapi tetap memberikan kontribusi pada keragaman genre perfilman Indonesia. Dari ulasan ini, semoga saja dapat membantu mengarahkan pembuat film untuk terus meningkatkan kualitas dan relevansi cerita dalam karya-karya mendatang. Kamu penasaran sama filmnya? Sempatkanlah nonton, ya.