Menjawab Pertanyaan "Kenapa New York City?" ala The Architecture of Love

Hernawan | Lariza Oky Adisty
Menjawab Pertanyaan "Kenapa New York City?" ala The Architecture of Love
Putri Marino dan Nicholas Saputra dalam FIlm The Architecture of Love (Twitter/Starvisionplus)

“Setting-nya harus banget di New York City nih?” Itu yang pertama kali terbersit di benak saya saat menonton trailer film The Architecture of Love ketika pertama kali rilis. Atas dasar menemani ibunda yang penasaran dengan filmnya, saya pun manut ikut nonton. Lantas, apa penilaian saya? 

Yang jelas, The Architecture of Love bukan film yang sempurna. Kekurangan film ini bahkan sangat terasa jelang akhir babak ketiga. Tarik-ulur antara Raia (Putri Marino) dan River (Nicholas Saputra) pada menit-menit terakhir mendadak diganggu oleh sebuah plot twist yang kurang penting, bahkan terkesan diada-adakan. Belum lagi perpindahan lokasi yang kerap terlalu sering dan membuat penceritaan menjadi tidak efektif. Cukup disayangkan. 

Di sisi lain, film garapan Teddy Soeriaatmadja ini masih punya banyak aspek yang membuat saya bisa melupakan kelemahan-kelemahannya dan merasa antusias untuk membahas ceritanya sepulang dari bioskop.

Hal pertama yang harus saya puji jelas pilihan The Architecture of Love menceritakan kisah kedua tokoh utamanya. Raia dan River bukan karakter remaja atau baru menginjak usia dewasa hingga awam pengalaman soal mencintai. Sebaliknya, mereka sudah layak dikatakan dua orang yang matang secara pemikiran, pun sudah punya pengalaman jatuh cinta hingga sakit hati. Alasan keduanya ada di New York City bahkan tak lepas dari luka yang mereka bawa dari Jakarta, yang sama-sama ada hubungannya dengan urusan hati, mencintai, dan terluka.

Teddy Soeriaatmadja, serta Alim Sudio dan Ika Natassa yang menulis skenario (Ika juga penulis novel yang diadaptasi menjadi film ini) tahu betul, pertemuan Raia dan River tidak akan cocok jika diberikan treatment yang serba instan, intens, serta buru-buru. Maka dibuatlah pertemuan Raia dan River mengalun dengan lembut, kalem, pun manis meski tetap ada sentuhan pahit; persis seperti Raia dan River yang berhati-hati menjalani interaksi meski sama-sama jatuh hati, semata karena ada luka yang belum terobati. 

Hal kedua yang membuat The Architecture of Love sukses menjadi film yang mudah untuk dinikmati adalah kontribusi kedua pemeran utamanya, Putri Marino dan Nicholas Saputra. Putri Marino kian menunjukkan kelayakannya sebagai aktris peran papan atas Indonesia saat ini.

Shots yang kerap menyorot wajah para karakter dari jarak dekat memberikan Putri kesempatan untuk menunjukkan keekspresifannya, bahkan ketika ekspresi tersebut hanya ia sampaikan lewat sorot mata. Di tangan peraih Piala Citra 2017 tersebut, karakter Raia bukan cuma hidup, tetapi juga sanggup membuat penonton berempati.

Nicholas Saputra di sisi lain sempat membuat saya agak was-was bahwa karakter River akan berakhir tidak lebih sebagai “varian” lain dari karakter Rangga di Ada Apa dengan Cinta? yang begitu lekat dengan aktor berusia 40 tahun tersebut, alias pria ganteng, pendiam, cool, tetapi kesulitan berkomunikasi dengan perempuan.

Karakterisasi semacam itu memang masih ada di River, tetapi beruntunglah Nicholas, karena pengungkapan masa lalu River memberikannya banyak ruang untuk menunjukkan akting dramatisnya, baik lewat flashback maupun melalui petunjuk-petunjuk subtil sepanjang interaksinya dengan Raia.

Chemistry keduanya pun terjalin rapi dan natural, cukup membuat saya bisa memercayai ketertarikan yang tumbuh antara Raia dan River. Namun, bagi saya, Jerome Kurnia-lah yang sukses mencuri perhatian lewat karakter Aga yang dia perankan. He is arguably the unsung green flag bearer in this film! 

Hal ketiga adalah film ini bisa menjawab pertanyaan saya di awal tulisan ini. New York City dalam The Architecture of Love tidak berakhir sekadar menjadi “tempelan” semata agar filmnya bisa memasang embel-embel “difilmkan di New York City!” atau menepuk dada sebagai produk dengan biaya produksi yang tinggi.

The Big Apple justru menjadi plot device untuk membantu penonton mengikuti perjalanan Raia dan River. Perjalanan mereka ke lokasi-lokasi terkenal di kota tersebut bukan cuma membantu Raia dan River saling mengenal -- penonton pun terbantu mengenal mereka.

Saya juga suka sekali dengan adegan setiap Raia dan River menjelaskan soal New York City atau soal tempat seperti Flatiron Building, Grand Central Station dan Whispering Gallery, serta New York Public Library. Metode yang pas untuk membangun koneksi kedua karakternya, sekaligus “mengakali” kebiasaan Ika Natassa di novel yang hobi menjelaskan beragam trivia dan informasi dalam narasinya. Dalam The Architecture of Love, kebiasaan (atau ciri khas) ini dimasukkan sebagai karakterisasi mereka. Pilihan yang bijak dan cerkas dari tim produksi. 

The Architecture of Love pada akhirnya memang bukan film yang sempurna. Ada beberapa hal yang menurut saya sedikit mengurangi kesenangan menonton. Namun, film ini seperti memberikan pesan untuk film-film romansa, terutama produksi lokal; bahwa cerita romansa tidak selamanya harus serba intens dan kilat. Sebaliknya, ia justru bisa mengalun dengan lembut, kalem, dan tenang, entah itu di New York City ataupun di lokasi lain. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak