Saat ini, gaya hidup minimalis telah banyak dianut oleh sebagian orang. Hidup dalam kesederhanaan dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang sedikit adalah keyakinan yang dianggap sebagai sumber kebahagiaan.
Bahkan, dalam beberapa ajaran baik secara psikologi maupun agama, kebahagiaan itu bisa diperoleh dari energi internal.
Kebahagiaan tergantung pada apa yang kita pancarkan dari dalam diri. Sebaliknya, sesuatu yang berada di luar diri kita sebenarnya tidak bisa menentukannya.
Tapi, apakah pernyataan tersebut memang tepat? Ternyata, menurut beberapa penelitian, hal tersebut tidak sepenuhnya benar.
Lewat bukunya yang berjudul Joyful, Hal-Hal Biasa yang Mendatangkan Kebahagiaan Luar Biasa, Ingrid Fetell Lee memaparkan bahwa kebahagiaan itu juga bisa ditentukan dari output yang diberikan oleh lingkungan.
Merangkum dari beberapa penelitian yang relevan, penulis menjelaskan bagaimana energi luar, keberlimpahan, kebebasan, harmoni, permainan, kejutan, transenden, keajaiban, perayaan, dan pembaruan adalah unsur-unsur yang bisa memantik kebahagiaan.
Dengan kata lain, menjadi seseorang yang maksimalis adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mendapatkan hidup yang bahagia.
Unsur-unsur eksternal ternyata sangat mempengaruhi kondisi emosional manusia.
Misalnya bagaimana sebuah bangunan dengan arsitektur yang kaya bentuk dan terdiri atas warna-warna cerah bisa membuat kita lebih semangat.
Sebaliknya, objek yang membosankan dengan warna-warna suram seperti hitam, putih, atau krem ternyata bisa membuat suasana hati kita cenderung lebih cepat murung dibanding saat menggunakan warna cerah.
Padahal, orang-orang tak jarang memilih warna abu-abu, putih, krem, atau warna-warna pastel lainnya sebagai pilihan warna dari desain interior. Meskipun sebenarnya jenis warna ini hanya memancarkan sedikit energi.
Saya agak tercengang membaca beberapa fakta yang dibeberkan penulis di atas. Sebab, bagi para penganut ajaran minimalis, hal-hal tersebut tentu amat bertentangan dengan kecenderungan yang sudah diyakini.
Alih-alih menyuruh kita agar bersikap sederhana, penulis mencoba mengajak pembaca untuk menyadari bahwa keberlimpahan juga sesuatu yang penting.
"Jenis keberlimpahan yang benar-benar penting bukanlah keberlimpahan materi, tapi kekayaan sensoris." (Halaman 77)
Menurut penulis, otak kita tidak bisa berkembang dalam keterasingan yang minimal.
Otak memerlukan dialog yang terus menerus dengan lingkungan, terutama lingkungan berlimpah tekstur, warna, dan bentuk.
Nah, bagi kamu yang tertarik dengan ajaran maksimalis dan ingin membentuk sebuah lingkungan yang mendatangkan kebahagiaan, temukan kiat-kiatnya dalam buku ini!