Novel Aksi Kocak Nuruddin merupakan novel pendidikan adab dan hikmah. Nuruddin alias Bujang adalah tokoh dalam novel ini yang sikapnya jenaka, tetapi sarat hikmah.
Orang yang berada di sekitar Nuruddin akan memahami apa yang ia lakukan dan ia katakan. Namun, orang yang baru pertama bertemu dengannya akan sulit memahami apa yang ia lakukan jika tidak mampu menyadarkannya.
Seperti suatu hari saat Nuruddin alias Bujang dapat tantangan bertukar pendapat dari rombongan saudagar asing yang tinggal di ibu kota. Rombongan tersebut mengajak sastrawan Arab beragama Nasrani, bernama Isa Gibran untuk berdiskusi bersama Bujang mengenai hubungan anak dengan orang tuanya.
Sementara itu, di kesempatan yang sama di Istana Kesultanan Riak Damai juga kedatangan kelompok adat yang mengajak Syeikh Jabir al-Iraqi (salah satu tokoh sufi yang disegani di tanah Melayu) untuk berdiskusi dengan Bujang terkait ajaran wihdatul wujud (menyatunya makhluk dengan Sang Khalik).
Saat berdiskusi dengan kelompok pertama mengenai hubungan anak dan orang tua, Bujang mengambil anak panah dan busurnya. Ia lalu menganalogikan dengan mengatakan bahwa jika kualitas busur, tali busur, dan anak panah itu sendiri dalam kondisi baik, maka daya dorong dan laju anak panah dalam melesat akan baik pula.
Adapun mengenai tepat tidaknya anak panah mengenai sasaran, hal itu sepenuhnya bergantung pada benar atau tidaknya anak panah diarahkan ke sasaran ketika masih di dalam busur. Jadi, faktor yang bisa membuat anak panah tepat mengenai sasarannya adalah keadaan anak panah ketika masih berada di busur.
Dengan demikian, faktor yang bisa membuat seorang anak dapat meraih cita-citanya atau membangun rumah jiwanya adalah pendidikan yang diberikan oleh keluarga atau orang tua. Kemudian, jika kelak anak itu sudah dewasa dan hendak melesat melepaskan diri dari busur atau orang tuanya, ia akan melesat dengan bekal yang cukup hingga dapat tepat mengenai sasaran.
Ketika berdiskusi dengan kelompok kedua yang dipimpin oleh syeikh sufi tersebut, Bujang meminta gelas yang diisi air. Sontak Bujang menuangkan sedikit air dari gelas tersebut ke lantai lalu meminta agar syeikh meminumnya. Jelas saja sang syeikh tidak mau, sebab meski setetes air di lantai itu merupakan bagian dari air di dalam gelas, namun kondisi air tersebut sudah tidak suci karena telah bersentuhan dengan lantai istana.
Hal yang dilakukan Bujang yang membuat syeikh kebingungan itu kemudian dijelaskannya bahwa benar makhluk merupakan bagian dari kekuasaan Khalik. Tetapi, bukan berarti Khalik juga merupakan bagian dari kekuasaan makhluk.
"Kalau Tuan memang benar mengimani bahwa Allah itu Mahasuci, mengapa Tuan berani menyamakan Allah dengan makhluk-Nya yang tidak lepas dari dosa seperti kita?" tanya Bujang kepada Syeikh Jabir. (Aksi Kocak Nuruddin, halaman 15).
Itu pertanyaan Bujang yang menjadikan syeikh tersebut tiba-tiba menundukkan kepala dan hatinya diliputi rasa takut serta penyesalan. Syeikh Jabir tak henti-henti beristighfar memohon ampunan Allah atas kekhilafan. Air matanya pun berurai dan tubuhnya bergetar menahan isak.
Novel pendidikan adab dan hikmah terbitan Tinta Medina pada November 2018 ini dapat memperkaya ilmu dan hikmah yang sarat makna. Aksi jenakanya pun memberikan warna tersendiri dari buku ini sebagai improvisasi sebuah novel religius agar tidak terlihat terlalu serius dan membosankan.
Kisah-kisah yang dituturkan Harlis Kurniawan dengan memanfaatkan tokoh Bujang bersama kawan-kawannya ini memperlihatkan kepada pembaca ihwal memaknai kehidupan sehari-hari secara sederhana, tetapi cendikia.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS