Review Film Uglies, Perjuangan Melawan Standar Kecantikan di Dunia Distopia

Hayuning Ratri Hapsari | Alexander Joy
Review Film Uglies, Perjuangan Melawan Standar Kecantikan di Dunia Distopia
Film Uglies (Netflix)

Netflix merilis feature-nya beberapa waktu lalu melalui film sci-fi remaja, Uglies. Uglies disutradarai oleh McG, seorang sineas yang dikenal dengan film-film aksi, dan naskahnya diadaptasi dari novel fiksi ilmiah karya Scott Westerfeld.

Film ini menampilkan Joey King, Keith Powers, Chase Stokes, Brianne Tju, Jan Luis Castellanos, Charmie Lee, dan Laverne Cox sebagai para pemerannya.

Mampukah film ini memberikan warna baru pada subgenrenya yang sudah melewati periode emas satu dekade lalu?

Ratusan tahun ke depan setelah bencana melanda bumi karena keserakahan manusia, pemerintah akhirnya menemukan cara efektif untuk membuat semua orang tetap muda, tampan, dan bahagia secara fisik dan mental.

Semua orang yang telah berusia 16 tahun menunggu giliran mereka di sebuah asrama untuk dapat tinggal di kota impian, surga bagi semua orang.

Tally (King) dan Peris (Stokes) adalah dua sahabat lama yang akan segera menjalani prosedur. Peris mendapat giliran lebih dulu, dan Tally mendapati sahabatnya berubah sikap.

Melalui kawan barunya, Shay (Tju), Tally mengetahui bahwa ada sekelompok orang di luar sana yang menentang kehendak pemerintah dan hidup bebas secara alami dengan pilihan mereka sendiri.

Apakah plot ini terdengar familiar bagi Anda? Jika kamu mengikuti maraknya film-film sci-fi remaja pada awal 2010-an, ceritanya memang memiliki banyak kesamaan. Sebut saja seri populer seperti The Hunger Games, Divergent, dan The Maze Runner.

Mengisahkan sebuah dunia utopia yang hanya dinikmati oleh segelintir orang dan menekan mereka yang melawan serta hidup di bawah tekanan otoritas. Motif ceritanya selalu sama, dan sang protagonis akhirnya berhasil membebaskan umat manusia dari kebohongan besar dan ketidakadilan.

Lantas bagaimana dengan Uglies dan mengapa seri ini tidak dibuat pada masa tren Hunger Games?

Jika melihat ceritanya, dibandingkan dengan seri-seri remaja sukses di atas, Uglies jauh lebih inferior. Ide premisnya bisa dipahami arahnya, namun banyak hal mendasar yang masih tidak terjelaskan motifnya.

Setelah kaum muda diubah menjadi "boneka", lantas apa peran mereka selain hanya berpesta pora dan bersenang-senang? Kaum muda nan rupawan tersebut tampak hanya menjalani kehidupan glamor tanpa melakukan apa pun, selain hanya menghabiskan waktu produktif mereka.

Lalu apa manfaatnya bagi otoritas?

Jika tujuannya untuk mengontrol pikiran, mengapa tidak dijadikan budak yang bekerja di tambang, seperti yang dilakukan Prime Sentinel dalam Transformers One, atau bagaimana kaum mesin mengambil energi dari otak manusia dalam The Matrix? Ini satu catatan penting yang membuat premis Uglies terlihat konyol.

Alur ceritanya pun sudah dapat ditebak sejak awal. Tak ada kejutan berarti, selain hanya aksi para tokohnya dengan alur cerita yang mudah sekali diprediksi dari awal hingga akhir.

Seburuk judulnya, Uglies memiliki premis yang konyol serta eksekusi naskah yang lemah dan mudah ditebak. Ini mungkin menjadi alasan, mengapa studio produksinya tidak mengadaptasi novelnya saat subgenrenya sedang populer.

Tak ada yang menarik dari pencapaian estetiknya, selain aksi skateboard ala Back to the Future yang sedikit menghibur.

Uglies sebenarnya memiliki potensi premis yang cukup untuk mencerminkan masalah umat manusia saat ini. Sayangnya, naskah dan eksekusinya tidak sesuai dengan harapan serta momennya sudah jauh terlewat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak