Bukan Cuma Amerika, Pelajaran Penting dari Buku How Democracies Die untuk Indonesia

Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Bukan Cuma Amerika, Pelajaran Penting dari Buku How Democracies Die untuk Indonesia
Anies Baswedan membaca buku How Democracies Die (Instagram/@aniesbaswedan)

How Democracies Die menganalisis ancaman utama yang dihadapi oleh demokrasi modern. Penulis memperingatkan bahwa demokrasi di abad ke-21 tidak mengalami kematian secara tiba-tiba dan brutal, melainkan mati perlahan-lahan dari dalam, bahkan melalui tindakan para wakilnya sendiri.

Meskipun buku ini fokus pada demokrasi AS setelah pemilihan Donald J. Trump sebagai Presiden, terdapat pelajaran yang relevan bagi seluruh dunia. Penulis menekankan bahwa "serangan terhadap demokrasi dimulai secara bertahap. Bagi banyak warga, hal ini mungkin awalnya terasa tidak signifikan."

Mereka menunjukkan bahwa meskipun pemilihan umum masih berlangsung, media independen tetap ada, dan politisi oposisi masih ada di Kongres, proses erosi demokrasi terjadi secara bertahap.

Setiap langkah tampak kecil—tidak ada yang benar-benar mengancam demokrasi. Bahkan, langkah-langkah pemerintah yang berpotensi merusak demokrasi sering kali terlihat sah secara hukum.

Dalam sembilan bab buku ini, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mengeksplorasi ancaman terkini terhadap demokrasi di Amerika Serikat. Mereka mendiagnosis potensi solusi berdasarkan pengalaman di AS dan perbandingan dengan peristiwa di dunia, khususnya di Amerika Latin.

Semua kasus yang dianalisis memiliki kesamaan: pemimpin politik dalam kasus-kasus ini menguasai kekuasaan secara demokratis namun pada akhirnya merusak demokrasi dari dalam.

Sebagian besar pemimpin tersebut bersifat populis dan memiliki karisma yang menonjol, termasuk Adolf Hitler, Benito Mussolini, Hugo Chávez, Getulio Vargas, Alberto Fujimori, Recep Tayyip Erdogan, dan Viktor Orbán.

Tidak ada demokrasi yang sepenuhnya terhindar dari munculnya pemimpin populis dan otoriter serta ancaman yang mereka bawa. Oleh karena itu, penting untuk membatasi atau menjauhkan mereka dari kekuasaan. Di sinilah peran partai politik menjadi krusial.

Partai politik berfungsi sebagai penyaring; reaksi publik terhadap perilaku otoriter tidak cukup efektif, seperti yang diungkapkan oleh penulis. Partai politik perlu mengambil langkah untuk menghalau pemimpin semacam itu.

Dengan demikian, partai politik memainkan peran vital dalam melindungi demokrasi dan berfungsi sebagai "penjaga gerbang demokrasi," menurut Levitsky dan Ziblatt.

Namun, bagaimana partai-partai pro-demokrasi dapat mengatasi para pemimpin otoriter? Pertama-tama, para pemimpin otoriter ini harus diidentifikasi, dan penulis memberikan panduan yang efektif mengenai indikator-indikator perilaku otoriter yang perlu diperhatikan.

Buku ini sangat berharga dalam menunjukkan bahwa desain kelembagaan formal, meskipun dirancang dengan baik, akan sia-sia jika tidak disertai dengan perilaku demokratis yang memperkuat dan memberikan makna pada norma-normanya.

Mengacu pada pengalaman politik di AS, penulis mengidentifikasi dua jenis aturan tidak tertulis yang krusial bagi keberlangsungan sistem demokrasi dan fondasi sistem checks and balances yang dihargai: toleransi bersama dan kesabaran kelembagaan.

Toleransi bersama merujuk pada prinsip bahwa para pesaing politik memiliki hak yang setara untuk hidup, bersaing untuk mendapatkan kekuasaan, dan memerintah. Sementara itu, kesabaran kelembagaan berarti "pengendalian diri yang sabar; pengekangan dan toleransi," serta "tindakan menahan diri dari penggunaan hak hukum" (2018:106).

Tindakan yang melanggar kedua aturan tidak tertulis ini dapat merusak sistem demokrasi, mengancam keseluruhan struktur yang secara bertahap dapat terkikis dan pada akhirnya hancur. Paradox-nya, perilaku ini tidak melanggar hukum dan masih berada dalam batas-batas hukum.

Buku ini memberikan berbagai contoh situasi di mana para pemimpin demagogis secara licik memanfaatkan hak prerogatif kelembagaan mereka untuk melemahkan dan menghancurkan tatanan demokratis. Ini merupakan kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi kepada berbagai cabang pemerintahan.

Agar sistem berfungsi dengan baik, pejabat publik harus menggunakan hak prerogatif kelembagaan mereka dengan bijaksana (2018:127). Sebaliknya, ketika politisi menggunakan kekuasaan tersebut sebagai senjata, sistem akan mengalami kebuntuan, disfungsi, dan bahkan kehancuran demokrasi.

Salah satu bahaya utama yang dihadapi demokrasi modern saat ini adalah polarisasi. Polarisasi biasanya muncul sebagai akibat dari munculnya pemimpin populis dan demagogis, yang dikenal sebagai "pelanggar norma."

Para pemimpin ini membedakan diri dengan memanfaatkan hak prerogatif konstitusional mereka secara kasar untuk melanggar dan memaksakan keputusan mereka pada otoritas lain serta masyarakat sipil, termasuk media dan komunitas bisnis.

Dalam konteks ini, reaksi politisi oposisi sangatlah krusial. Apakah mereka juga akan memanfaatkan hak prerogatif konstitusional mereka atau memilih untuk bertindak dalam batasan hukum dan norma yang ada, akan berdampak signifikan pada hasil akhir.

Karya ini—yang telah diterjemahkan ke dalam setidaknya lima belas bahasa—diakhiri dengan nada optimis. Para penulisnya mengungkapkan kekhawatiran tentang gelombang erosi demokrasi di tingkat global.

Meskipun benar bahwa ada kasus-kasus keruntuhan demokrasi, perhatian kita tertarik pada kasus-kasus tersebut karena sifatnya yang mencolok: "Jumlah negara demokratis meningkat pesat pada tahun 1980-an dan 1990-an, mencapai puncaknya sekitar tahun 2005, dan tetap stabil sejak saat itu." Inilah kontribusi utama dari karya ini, yang memberikan analisis yang relevan untuk demokrasi modern mana pun.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak