Masa remaja adalah masa di mana seseorang dihadapkan pada berbagai pilihan hidup. Di satu sisi, remaja tak lagi bocah yang apa-apa harus dibantu orang yang lebih dewasa. Namun di sisi lain, remaja juga belum dewasa sehingga belum bisa membuat keputusan dengan pertimbangan matang.
Bagaimana seharusnya menjadi remaja? Di titik inilah, membaca buku berjudul Am I There Yet ini menjadi menarik dan relevan. Buku karya Mari Andrew, seorang ilustrator dari New York ini memberi kita kisah-kisah inspiratif dan unik tentang bagaimana ia memaknai setiap kejadian di masa remajanya.
Mari mengatakan, seorang kawan mengatakan bahwa selama sepuluh tahun ke depan adalah waktu yang tepat untuk mencoba banyak hal, menguji batas-batas diri. “Saran kawan saya itu kemudian menjadi pegangan saya,” tulis Mari. Memasuki usia dua puluhan, kemudian yakin bahwa itu merupakan waktu yang tepat untuk bertualang.
Mari kemudian mencoba berbagai pekerjaan yang bukan bidangnya. Dari sanalah ia belajar mengenal lebih dalam tentang minat, bakat, dan kemampuan diri sendiri. Saat ia mulai menggemari seni menggambar, ia mengunjungi Granada dan ingin bertemu manusia-manusia berjiwa bebas; bisa menggambar di kafe unik atau bar bawah tanah.
Akan tetapi, kenyataan terkadang tak seindah apa yang direncanakan. Mari justru terserang penyakit dan akhirnya dilarikan ke Rumah Sakit. Apa yang menarik adalah bukan sekadar apa yang terjadi pada Mari, namun bagaimana sikap yang ditunjukkan Mari atas apa yang menimpanya. Di sinilah, Mari selalu bisa memaknai setiap perjalanannya dengan hal-hal inspiratif.
Saat ia harus terbaring di Rumah Sakit dan tak bisa melakukan apa-apa berminggu-minggu, Mari baru menyadari kesehatan begitu penting. Karena sakit, ia tak punya pilihan apa pun untuk berbuat selain istirahat. “Dengan cepat saya belajar bahwa memiliki pilihan adalah sebuah kemewahan dan andilnya besar untuk membuat kita bahagia,” tulisnya (hlm 123).
Ketika kemudian Mari sudah sembuh dan bisa kembali ke apartemen, rupanya ia masih harus beristirahat beberapa minggu. Ia memanfaatkan masa-masa tersebut untuk semakin konsisten berkarya. Ia menggambar satu ilustrasi setiap hari dan mengunggahnya ke Instagram. Hingga beberapa bulan kemudian, ia bisa ke New York untuk menjual ilustrasi cetaknya untuk pertama kali. Tak disangka, ternyata cukup banyak orang tertarik membelinya.
Kepercayaan diri Mari mulai tumbuh seiring makin banyaknya orang membeli karyanya. “Seniman sungguhan itu memangnya seperti apa? Saya berpikir, seniman adalah orang yang membuat karya seni dan itulah yang saya lakukan,” tulis Mari (hlm 137). Pembaca pun menemukan makna bahwa dalam berkarya, mula-mula orang harus memiliki keyakinan dan kepercayaan diri, meskipun masih dalam tahap menjadi pemula. Jangan sampai rasa rendah diri menghalangi kita untuk belajar dan berkembang.
Menjadi diri sendiri
Saat ini, anak-anak muda cenderung selalu mengikuti gaya dan tren yang ada. Menjadi menarik melihat pemikiran Mari terkait hal ini. Dalam buku ini, Mari mengungkapkan bagaimana menemukan gaya kita sendiri. Bagi Mari, gaya bukan tentang mengikuti trend. “Kamu bisa bergaya dalam berpakaian tanpa harus mengikuti tren. Kalau kamu sudah bisa memahami gaya personalmu sendiri, bawalah gaya itu ke area lain dalam hidupmu,” katanya (hlm 147).
Gaya personal perlu diidentifikasi dalam diri masing-masing. Tujuannya, agar kita tak sekadar larut dalam tren yang ada, namun juga harus berpikir bagaimana menciptakan gaya sendiri yang bisa menjadi tren dan diikuti orang banyak.
Buku ini mangajak pembaca merenungkan makna di balik berbagai kejadian dalam perjalanan Mari ke Washington DC, San Fransisco, Berlin, Lisbon, Meksiko, Granada, Rio De Jeneiro, dan New York beserta kehidupan orang-orang di dalamnya. Ada berbagai pesan dan makna inspiratif yang bisa kita temukan dengan menelusuri perjalanan Mari dalam buku ini. Utamanya tentang bagaimana menjalani dan memaknai fase hidup pada masa remaja.