Dalam sejarahnya, pesantren memiliki banyak bentuk karya sastra yang telah dihasilkan di Nusantara, baik dalam bentuk hikayat, serat, kisah, cerita, puisi, roman, novel, syi'ir, hingga nazam. Karya-karya tersebut tidak hanya dalam bentuk tulisan, tetapi juga dalam bentuk lisan yang disenandungkan di mana-mana pada masanya.
Semangat kesusastraan di pesantren semacam itu masih terus berlangsung sampai sekarang. Seperti buku Senandung Cinta dari Pesantren yang lahir dari tangan-tangan para santri di Pesantren Mahasiswa (Pesma) An-Najah, Purwokerto ini.
Buku ini mengangkat tema cinta. Dulu di pesantren kita tabu berbicara soal cinta. Tapi, jika tidak didasari cinta, apa yang bisa kita lakukan? Bahkan, mengaji kepada kiai pun harus didasari dengan cinta. Cintalah yang akan menjadikan hidup lebih berwarna, mengaji lebih bersemangat, dan berselawat lebih bergema.
Penulis antologi 30 cerpen dalam buku Senandung Cinta dari Pesantren ini berasal dari berbagai wilayah. Dan tidak semuanya berstatus santri atau alumnus pesantren, seperti Dadang Ari Murtono.
Dadang Ari Murtono lewat cerpennya yang berjudul Cermin, ingin menyampaikan pesan moral agar warga mencintai masjid sebagai tempat ibadah salat dan rajin melaksanakan salat jamaah di sana. Diceritakan, Gus Baha pada suatu sore di musim kemarau datang ke sebuah masjid tua. Guguran daun mahoni memenuhi pelatarannya. Catnya pudar. Atap teras doyong dan lantainya dilapisi debu tebal. Di sana-sini, teronggok kotoran ayam yang sudah mengering.
Sementara itu Gus Baha terpukau menyaksikan betapa karpet di dalam masjid berlubang di sana-sini, dan sawang bergelantungan di langit-langit masjid. Beberapa ekor sriti terbang berputar-putar.
Gus Baha adalah seorang santri yang tengah dalam perjalanan dan kebetulan butuh tempat menginap. Maka, ia pun pamit bermalam di masjid, diizinkan oleh Mat Rai selaku pemimpin kampung dan ditemani oleh Ali Ucup.
Di masjid itu, Gus Baha memperlihatkan sebuah cermin besar yang dapat melihat surga dan neraka. Gus Baha katakan, bahwa hanya orang alim dan salih yang dapat melihat surga dan neraka pada cermin yang dibawanya itu. Para warga akhirnya berdatangan ke masjid karena penasaran terhadap cermin ajaib itu.
Mereka pun mampu melihat surga dan neraka lewat cermin tersebut. Lalu Gus Baha berkomentar bahwa penduduk kampung itu luar biasa. Mereka alim dan salih.
"Tapi, ada satu hal yang benar-benar mengganggu saya. Jika penduduk kampung ini sealim dan sesalih mereka, kenapa masjid ini terlihat tidak terawat?" (Halaman 140).
Itu pertanyaan menohok Gus Baha kepada warga kampung, sekaligus merupakan pesan moral dalam cerpen Dadang Ari Murtono. Dan masih banyak cerpen-cerpen lain yang tak kalah seru dan menarik. Seperti cerpen karya Darwanto, Karnaval Kematian, yang menceritakan jenazah seorang kiai yang baru saja dimakamkan tiba-tiba amblas cukup dalam, tapi jenazah beliau tidak ada. Padahal tidak ada bekas digali. Hanya ada aroma wangi yang menyeruak.
Selamat membaca!
Identitas Buku
Judul: Senandung Cinta dari Pesantren
Penulis: Agus Setiawan, dkk.
Penerbit: Diva Press
Cetakan: I, April 2022
Tebal: 340 Halaman
ISBN: 978-623-293-690-4