Menari di Antara Kenangan dan Perjuangan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Hernawan | Tito Yoga Pradana
Menari di Antara Kenangan dan Perjuangan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Buku Ronggeng Dukuh Paruk (DocPribadi/TitoYoga)

Begitu banyak novel history fiction yang tersebar di Indonesia, salah satunya adalah “Ronggeng Dukuh Paruk”, sebuah novel yang kerap dikatakan oleh beberapa bibliophile sebagai karya sastra yang harus dibaca setidaknya sekali dalam hidup. Novel ini merupakan trilogi yang menggabungkan cerita Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jantera Bianglala.

Bercerita mengenai seorang penari ronggeng bernama Srintil. Untuk menjadi ronggeng ia harus melewati berbagai tahapan seperti menari setiap malam, mandi kembang di kuburan, hingga melakukan ritual buka kelambu. Keputusan Srintil untuk menjadi Ronggeng tidak disetujui oleh teman masa kecilnya yaitu Rasus, sehingga ia memutuskan pindah dari Dukuh Paruk.

Setelah kepergian Rasus, dukuh paruk kedatangan banyak pendatang yang mengubah beberapa lagu dan sering berpidato dengan menyisipkan kata-kata seperti “rakyat” dan “revolusi”. Warga Dukuh Paruk hanya mengikuti saja karena kebodohannya, tanpa tahu bahwa orang-orang yang datang adalah kelompok komunis. Karena itulah muncul petaka di Dukuh Paruk, semua warga dituduh menjadi anggota partai komunis dan harus ditahan, termasuk Srintil. Setelah dibebaskan, kehidupannya sudah mulai berubah. Banyak orang yang berubah pandangan terhadapnya karena identik dengan partai komunis serta menjadi bekas tahanan.

Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” banyak mengangkat isu-isu seperti tragedi 1965, di mana banyak korban yang tidak bersalah ditangkap dan ditahan tanpa adanya proses peradilan. Kebodohan masyarakat pada zaman itu begitu tergambarkan, mereka yang dengan mudah dapat teropresi.

Isu lain seperti isu feminisme juga muncul dalam novel dengan penggambaran cerita mengenai kekerasan terhadap perempuan dan perempuan yang seperti tidak punya hak untuk mereka sendiri. Kisah percintaan Srintil juga tak lepas dari alur utama cerita novel ini.

Selain itu, narasi penggambaran cerita dalam novel juga sangat detail, sehingga apa yang diceritakan seperti tergambarkan dengan jelas oleh pikiran. Pemilihan kata-kata yang indah dan cantik membuat sering kali harus bolak-balik membuka KBBI untuk mencari artinya. Ahmad Tohari bisa menghabiskan lebih dari dua paragraf untuk mendeskripsikan latar cerita. Bagaimana Dukuh Paruk sehabis hujan, bagaimana alunan alat musik calung dimainkan, serta masih banyak hal yang tergambarkan dengan jelas, sehingga membuat pembaca betul-betul memahami isi cerita.

Sebuah catatan yang kiranya perlu diketahui sebelum membaca novel ini ialah banyak adegan dalam cerita yang cukup disturbing, seperti adegan bagaimana anak perempuan sebelas tahun yang harus menari di antara pria-pria dewasa. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa adegan-adegan seperti itu dituliskan sebagai penggambaran bobroknya kehidupan di Dukuh Paruk masa itu.

Sebelum membaca, perlu menanamkan nilai yang berbeda antara yang dianut masa sekarang dengan nilai-nilai di setting waktu novel ini. Perlu diingat juga bahwa “Ronggeng Dukuh Paruk” termasuk karya sastra lama, sehingga ketika membacanya perlu melepas semua nilai, pemikiran, ataupun norma kepantasan yang berlaku di masa sekarang.

Sebagai novel dengan genre fiksi sejarah, ketika membaca buku ini akan banyak mendapat pemahaman baru mengenai budaya-budaya yang hidup di jaman dulu. Sudut pandang baru mengenai gejolak tahun 1965 juga akan tergambarkan dengan jelas dalam novel ini. Bagaimana orang-orang menjadi tahanan politik dan dipenjarakan tanpa adanya proses peradilan.

Bagi sebagian orang yang tidak menyukai alur penceritaan lambat, mungkin akan terasa bosan ketika membaca novel ini. Akan tetapi, dengan narasi penggambaran yang begitu panjang dan detail, saya justru serasa diceritakan oleh simbah ketika membacanya. Sebagai informasi tambahan, novel ini juga sudah diangkat menjadi film dengan judul “Sang Penari” yang tayang pada tahun 2011.

Identitas Buku

Judul buku: Ronggeng Dukuh Paruk

Penulis: Ahmad Tohari

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Cetakan  pertama: 2003 (terbit 1982)

Tebal: 408 halaman

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak