ulasan

To Catch a Killer, Film Thriller yang Gagal Mengupas Isu Penting?

To Catch a Killer, Film Thriller yang Gagal Mengupas Isu Penting?
Poster Film To Catch a Killer (IMDb)

Film thriller biasanya jadi wadah yang menarik untuk menyisipkan kritik sosial. Dari Film Se7en (1995) hingga Film Joker (2019), genre ini kerap menggali sisi gelap masyarakat sambil tetap menyuguhkan ketegangan yang memikat. 

Nah, ‘To Catch a Killer’, film garapan Sutradara Damian Szifron (pernah bikin Film Wild Tales), mencoba mengikuti jejak yang sama. Dengan naskah yang dia tulis bersama Jonathan Wakeham, film ini membawa premis besar, yaitu: Menguliti kegagalan sistem penegakan hukum dan kesehatan mental di Amerika Serikat. 

Sayangnya, ambisi ini justru jadi bumerang bagi filmnya sendiri. 

Sinopsis Film To Catch a Killer

Pada malam perayaan Tahun Baru, seorang penembak jitu secara brutal menewaskan 29 orang di Baltimore. FBI turun tangan untuk memburu pelaku, dipimpin Geoffrey Lammark (Ben Mendelsohn).

Dalam penyelidikannya, dia merekrut Eleanor Falco (Shailene Woodley), polisi patroli yang memiliki insting tajam tapi punya trauma pribadi.

Bersama agen FBI Jack MacKenzie (Jovan Adepo), mereka menelusuri jejak pelaku dalam sistem yang lebih peduli pada citra publik ketimbang keamanan masyarakat.

Kritik Tajam yang Tumpul

Film ini berambisi untuk lebih dari sekadar kisah kejar-kejaran antara polisi dan pembunuh. Szifron ingin menyoroti berbagai elemen yang dianggap sebagai akar permasalahan kekerasan bersenjata di Amerika—dari kebijakan kepolisian yang korup, pengaruh media, hingga terbatasnya akses ke layanan kesehatan mental.

Namun, alih-alih menyajikan kritik yang tajam dan menggugah, film ini justru tenggelam dalam narasi yang terlalu bertele-tele dan karakterisasi yang kurang berkembang.

Film ini tuh terasa lama sekali yang padahal durasi nggak seberapa. Belum lagi terkait film ini yang melewatkan peluang emas untuk mengeksplorasi isu pengawasan dan privasi.

Dalam salah satu adegan awal, Eleanor dengan cerdik meminta rekan-rekannya merekam wajah orang-orang yang melarikan diri dari TKP, dengan harapan bisa menemukan pelaku.

Namun, film ini nggak pernah benar-benar menggali dampak atau etika dari tindakan tersebut—padahal di dunia nyata, pengawasan massal oleh aparat keamanan adalah topik yang sering diperdebatkan.

Sebenarnya pas nonton film ini, scene itu termasuk keren sih. Namun, kalau dipikir-pikir, memang betul, seolah-olah sudah nggak ada lagi privasi (warga). 

Mungkin karena fokusnya bukan untuk membahas sisi etik jadi hal begini dianggap angin lalu dan nggak terlalu jadi penyulut dan konflik tambahan dalam plot ceritanya. 

Lebih lanjut, film ini juga menyajikan karakter Eleanor sebagai seseorang yang ditolak FBI karena gagal dalam tes psikologis, tapi justru direkrut oleh Lammark karena dianggap punya “jiwa tersiksa” yang bisa memahami si pembunuh.

Keren sih, tapi klise nggak sih? Karakter utama yang punya masalah mental sudah banyak kan ya? Belum lagi, nggak dikupas terlalu dalam dan nggak dikembangkan dengan baik.

Jika film ini benar-benar ingin membahas kesehatan mental secara mendalam, seharusnya nggak cuma menggunakan trauma karakter utama sebagai alat naratif yang dangkal.

Pada akhirnya, Film To Catch a Killer memiliki banyak hal yang bisa dieksplorasi, tapi terlalu banyak topik yang disentuh tanpa pendalaman berarti.

Kritik terhadap sistem penegakan hukum dan kebijakan sosial di Amerika seharusnya bisa jadi elemen kuat dalam cerita, tapi sayangnya malah terasa setengah matang. Di sisi lain, sinematografi dan musiknya masih bisa ngasih nuansa yang cukup mencekam dan mendukung atmosfer filmnya kok. 

Sudahkah kamu nonton film ini? Kalau penasaran, kamu bisa nonton Film To Catch a Killer, yang kini tayang di Netflix sejak 19 Februari 2025. Selamat nonton, ya!

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE

Athar Farha

Athar Farha

Nonton Film dan Mengulasnya.

Total Artikel 866

Dapatkan informasi terkini dan terbaru yang dikirimkan langsung ke Inbox anda