Apa jadinya kalau mitos yang sering kita dengar sejak kecil tiba-tiba jadi kenyataan? Nah, film Singsot: Siulan Kematian mengangkat kisah sederhana itu tapi berhasil menebar terornya, yaitu dari sebuah larangan yang diabaikan, lalu berujung pada kengerian.
Film diangkat dari film pendek dan masih membawa kisah yang bikin bulu kuduk berdiri! Film ini pun jadi debut panjang Wahyu Agung Prasetyo di genre horor, setelah sebelumnya dikenal lewat Tilik.
Dengan sentuhan budaya Jawa yang kuat dan atmosfer desa yang autentik, Singsot menawarkan pengalaman horor yang terasa dekat dan bikin merinding.
Sinopsis Film Singsot: Siulan Kematian
Ipung (Ardhana Jovin Aska Haryanto) si bocah yang penasaran banget sama burung peliharaan kakeknya (Landung Simatupang). Karena sering lihat kakeknya merawat burung, dia jadi hobi siulan. Masalahnya, dia nggak tahu kalau ada waktu-waktu tertentu yang pantang buat bersiul—terutama pas magrib!
Neneknya (Sri Isworowati) sudah mengingatkan berkali-kali, tapi namanya anak kecil, ya, kadang susah dibilangin. Sampai akhirnya, sesuatu yang nggak kasatmata mulai muncul.
Apa yang tadinya cuma suara siulan biasa, malah jadi awal dari kejadian horor yang bikin Ipung harus berhadapan dengan sesuatu yang nggak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Menarik ya? Jarang deh ada film yang mengangkat tema ‘larangan bersiul di malam hari’ dijadikan tajuk untuk menakut-nakuti penonton di bioskop. Penasaran dengan impresi film ini? Terus kepoin sampai akhir ya.
Review Film Singsot: Siulan Kematian
Film Singsot punya pendekatan horor yang lebih membumi dibanding film-film sejenis. Tanpa banyak efek visual berlebihan, Wahyu Agung Prasetyo mengandalkan suasana mencekam yang dibangun senatural mungkin.
Setting desa dengan rumah-rumah tua, kebun salak, dan jalanan sunyi terasa senyata itu, dan memperkuat kesan kalau-kalau cerita ini bisa terjadi di sekitar kita.
Penggunaan bahasa Jawa Jogja juga jadi nilai tambah. Dialognya, karena diperankan aktor-aktor yang memang terbiasa dengan dialek tersebut, jadi terasa ngalir dan nggak terasa cuma sekadar aksen yang dipaksakan. Untungnya, film ini tetap menyediakan takarir bahasa Indonesia dan Inggris dengan gaya yang mengalir, bukan terjemahan kaku ala mesin.
Selain itu, akting para pemainnya juga oke-oke banget. Ada Siti Fauziah yang dulu terkenal memerankan sosok Bu Tejo di film pendek ‘Tilik’ dan ‘Tilik the Series’ berhasil keluar dari bayang-bayang karakter lamanya. Sementara itu, Ardhana Jovin sebagai Ipung juga menunjukkan potensi besar di film panjang pertamanya. Mantap deh!
Meski banyak kelebihannya, Singsot punya beberapa kelemahan. Salah satunya adalah scoring yang terkadang terlalu dramatis, mengurangi kesan horor yang seharusnya lebih sunyi dan menghantui. Selain itu, efek visual pada beberapa adegan masih terasa kasar, kurang menyatu dengan sinematografi yang sebenarnya sudah apik.
Gitu deh. Di tengah tren film horor yang seringkali hanya mengekor formula lama, Film Singsot: Siulan Kematian hadir sebagai penyegar. Dengan pendekatan yang lebih khas, film ini membuktikan, horor tuh nggak selalu harus efek berlebihan.
Semoga ke depannya, kita bisa melihat lebih banyak film horor yang mengangkat mitos dan budaya lokal dari berbagai daerah di Indonesia. Kalau kamu suka horor semacam ini, Film Singsot wajib masuk daftar tontonanmu!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS