Animasi sering kali dikategorikan sebagai "hiburan anak-anak" dengan cerita sederhana dan pesan moral yang mudah dicerna. Namun, Jumbo hadir untuk menepis anggapan tersebut dengan narasi yang kaya, menyentuh, dan penuh makna. Film ini menunjukkan bahwa animasi bisa menjadi sarana untuk menyampaikan tema-tema kompleks, termasuk kehilangan dan kesedihan, tanpa kehilangan aksesibilitasnya bagi penonton muda.
Di tangan sutradara Ryan Adriandhy dan penulis naskah Widya Arifianti, Jumbo berhasil menyelaraskan berbagai elemen cerita yang tidak hanya menghibur tetapi juga membangun kedekatan emosional dengan penonton. Film ini tidak sekadar menyajikan petualangan animasi biasa, tetapi juga memberikan ruang refleksi bagi anak-anak dan orang dewasa tentang makna kehilangan, keberanian, dan persahabatan.
Kisahnya berpusat pada Don (Prince Poetiray), seorang anak laki-laki yang mendapat julukan "Jumbo" karena tubuhnya yang besar. Barang paling berharga dalam hidupnya adalah buku dongeng peninggalan orang tuanya (Ariel Noah dan Bunga Citra Lestari), yang suatu hari pergi tanpa pernah kembali. Kita tahu bahwa mereka telah meninggal, dan Don pun memahami itu, tetapi film ini memilih pendekatan yang lebih lembut dalam menggambarkan kematian. Alih-alih menggunakan kata "mati" secara langsung, konsep kehilangan dipresentasikan dengan cara yang lebih positif dan penuh harapan.
Pendekatan ini menjadikan Jumbo sebagai film yang tidak sekadar menyampaikan kesedihan, tetapi juga mengajarkan bagaimana cara menghadapinya. Tidak ada eksploitasi tragedi yang berlebihan; sebaliknya, film ini berusaha menunjukkan bahwa kehilangan adalah bagian dari kehidupan yang bisa dihadapi dengan kekuatan, keberanian, dan dukungan dari orang-orang terdekat.
Salah satu elemen paling menarik dalam film ini adalah hubungan Don dengan Meri (Quinn Salman), gadis misterius yang memiliki kemampuan ajaib—ia bisa terbang, tembus pandang, dan tidak bisa disentuh. Meri ternyata adalah arwah gentayangan, tetapi alih-alih digambarkan sebagai sosok menyeramkan, ia justru dipresentasikan dengan aura magis yang menenangkan. Meri menyebut kondisinya sebagai "beristirahat dengan tenang", sebuah cara indah untuk mendefinisikan kematian kepada penonton muda tanpa membuat mereka merasa takut.
Film ini juga tidak menjadikan dunia mistis sebagai sesuatu yang harus ditakuti. Sebaliknya, Jumbo mengajak penonton untuk melihatnya sebagai bagian dari kehidupan, tanpa perlu terjebak dalam ketakutan yang tidak perlu. Pesan ini semakin dikuatkan dengan cara Jumbo menggambarkan pertemanan dan makna keberanian—Don, yang sering menghadapi penolakan dari teman sebaya seperti Atta (M. Adhiyat), masih memiliki sahabat setia seperti Nurman (Yusuf Ozkan) dan Mae (Graciella Abigail). Kehadiran Meri mengajarkan Don untuk berani menghadapi ketakutannya, baik dalam konteks sosial maupun emosional.
Selain mengangkat kisah tentang persahabatan dan kehilangan, Jumbo juga menyelipkan isu sosial seperti penggusuran tanah. Ini adalah langkah berani bagi film animasi Indonesia, yang jarang memasukkan tema-tema semacam ini ke dalam narasi mereka. Yang lebih mengesankan adalah bagaimana naskahnya tetap mampu menyajikan isu ini dengan cara yang dapat diterima oleh penonton muda, tanpa terasa terlalu berat atau menggurui.
Karakter Don juga tidak digambarkan sebagai sosok sempurna. Ia memiliki kekurangan, sifat impulsif, dan sering kali harus belajar tentang pentingnya memenuhi janji serta menekan egonya. Hal ini membuatnya lebih manusiawi dan relatable bagi penonton—anak-anak bisa melihat cerminan diri mereka dalam Don dan belajar dari kesalahannya.
Dari segi teknis, Jumbo adalah pencapaian luar biasa dalam dunia animasi Indonesia. Lagu Selalu Ada di Nadimu ciptaan Laleilmanino yang dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari menjadi elemen emosional yang memperkuat kisah Don dan hubungannya dengan orang tua yang telah tiada. Prince Poetiray, yang belum berusia 10 tahun saat mengisi suara Don, memberikan penampilan luar biasa dengan jangkauan emosi yang luas.
Secara visual, film ini menunjukkan bahwa kualitas animasi Indonesia telah berkembang pesat dan mampu bersaing dengan produksi luar negeri. Detail yang diperhatikan dalam setiap adegan—seperti tambalan semen di rumah Atta—menunjukkan perhatian tinggi terhadap representasi dan realitas sosial.
Inspirasi dari Pixar dan anime Jepang cukup terasa dalam eksekusi film ini, tetapi Jumbo tetap memiliki identitas khas Indonesia. Ini adalah film yang bukan hanya dibuat untuk menghibur, tetapi juga untuk mendengarkan aspirasi penonton tentang minimnya film animasi lokal yang mampu bersaing di bioskop.
Sebagai kesimpulan, Jumbo adalah bukti bahwa animasi bisa menjadi lebih dari sekadar hiburan anak-anak. Ia menghadirkan cerita yang menyentuh tentang kehilangan, persahabatan, dan keberanian, tanpa kehilangan kedalaman emosionalnya. Di tengah minimnya film animasi Indonesia, Jumbo menjadi bukti bahwa kita memiliki sumber daya dan kreativitas yang mampu bersaing. Kini, tinggal bagaimana kita mendukungnya agar lebih banyak karya serupa bisa hadir di masa depan.