Nggak disangka-sangka film Thunderbolts* terasa cukup menyenangkan, meski datang dari semesta yang sudah mulai kelelahan dengan ambisinya sendiri: Marvel Cinematic Universe (MCU).
Itulah fakta yang menyedihkan memang. Di tengah kekecewaan fans pada fase-fase belakangan Marvel yang terasa repetitif, Film Thunderbolts* rilis dan rasanya kayak angin segar, meski masih menyisakan debu yang belum selesai dibersihkan. Eh.
Disutradarai Jake Schreier yang pernah bikin film Paper Towns dan Film Robot & Frank, rupanya Film Thunderbolts* membawa cerita yang agak gelap, lebih murung dari biasanya, tapi dengan ironi yang membuatnya menarik.
Film Thunderbolts* menampilkan jajaran aktor kece badai lho, di antaranya:
- Florence Pugh
- Sebastian Stan
- David Harbour
- Wyatt Russell
- Hannah John-Kamen
- Lewis Pullman
- Julia Louis-Dreyfus
- Olga Kurylenko
- Dan masih banyak bintang pendukung lainnya
Sekilas tentang Film Thunderbolts*
Yelena Belova (Florence Pugh), adik mendiang Black Widow, hidup dalam bayang-bayang duka dan kelelahan mental. Kini dia bekerja sebagai agen lapangan untuk Valentina Allegra de Fontaine (Julia Louis-Dreyfus), pemimpin operasi rahasia yang lebih terasa seperti politisi licik ketimbang pemimpin misi heroik.
Saat Yelena dikirim buat menghancurkan bukti di sebuah fasilitas rahasia, eh, dia pun sadar kalau ternyata nggak sendiri. Ada tiga nama lain yang juga bekas pejuang atau prajurit bayangan muncul: John Walker a.k.a U.S. Agent (Wyatt Russell), Ava Starr a.k.a Ghost (Hannah John-Kamen), dan Taskmaster (Olga Kurylenko)—yang nasibnya cepat sekali diputus.
Situasinya makin runyam saat muncul sosok asing bernama Bob (Lewis Pullman), yang ternyata bukan pria biasa. Lalu datanglah dua figur lagi: Red Guardian alias Alexei Shostakov (David Harbour) yang konyol tapi setia, dan Bucky Barnes alias Winter Soldier (Sebastian Stan) yang tampak makin lelah hidup sebagai penebus dosa masa lalu.
Nah, mereka semua dipaksa menyatu dalam satu tim yang nggak benar-benar percaya satu sama lain, demi menjatuhkan Valentina dan, pada akhirnya, menghadapi ancaman yang datang dari dalam kelompoknya sendiri.
Menarik ya? Sini simak kesan-kesannya!
Impresi Selepas Nonton Film Thunderbolts*
Sejujurnya, bagian awal film ini agak menyebalkan. Rasanya kayak lagi ngisi lembar soal ujian yang nggak kita minati: dialognya panjang tentang kongres, karakter-karakter yang terasa lupa-lupa ingat dari series atau film sebelumnya, dan pencahayaan yang muram banget.
MCU belakangan memang ada kecenderungan bikin film yang terlihat kusam secara visual, dan film Thunderbolts* nggak terkecuali.
Namun, begitu babak pertengahan mulai menggulirkan aksi yang lebih terarah, terutama saat Bucky muncul dalam sebuah adegan kejar-kejaran mobil yang seru, aku mulai merasakan denyut nadi film ini.
Chemistry antar-karakter mulai menghangat, dan yang paling penting, film ini punya hati. Yes! Hal demikian sudah langka banget di Marvel beberapa tahun terakhir.
Florence Pugh, seperti biasa, tampil penuh penghayatan. Yelena bukan hanya agen tangguh, tapi juga wanita yang masih berkabung, yang merasa dikhianati oleh sistem dan teman-temannya.
Akting Lewis Pullman sebagai Bob alias Sentry—karakter yang bisa dengan mudah berubah jadi monster CGI nggak berjiwa—eh, justru ngasih kejutan dalam alur filmnya. Di sini, Lewis Pullman memperlihatkan kompleksitas dan aura yang misterius tanpa berlebihan.
David Harbour juga mencuri perhatianku; dalam dunia ‘Thunderbolts*’ yang penuh kegelapan dan kepalsuan, ‘Red Guardian-nya’ bak angin segar, bisa dibilang menyebalkan tapi menyenangkan.
Sebaliknya, ada beberapa karakter yang kurang tampil oke. Misalnya, Ghost (Hannah John-Kamen) terasa hambar dan nggak cukup ruang buat berkembang. Bucky Barnes (Sebastian Stan) pun tampak kayak pria yang ingin segera pensiun. Eh, tapi mungkin itu memang bagian dari karakterisasinya—sosok yang lelah tapi tetap harus bertahan.
Jujur ya, palet warna dalam Film Thunderbolts* tuh kelabu bangeg. Bahkan logo Marvel di awal film dibuat nyaris nggak berwarna. Seolah-olah film ini ingin menyampaikan bahwa dunia para pahlawan buangan ini memang nggak lagi penuh cahaya.
Ada kesan sinis tapi juga kejujuran di dalamnya. Meski begitu, aku tetap berharap sinematografer Andrew Droz Palermo (The Green Knight) bisa sedikit lebih kreatif dalam mengeksekusinya. Desaturasi nggak harus berarti membosankan dilihat, kan?
Aksi dalam film ini, meski nggak seefektif film MCU terdahulu, tetap punya momen seru. Hal yang menonjol bukan perkelahian besar, tapi justru percakapan antar-karakter, ketegangan kecil, dan keputusan sulit diambil sama mereka, yang nggak benar-benar dilihat sebagai pahlawan.
Mungkin, atau setidaknya, ini pengingat kalau Marvel masih bisa membuat film yang berbicara tentang manusia, bukan hanya multiverse, AI, dan ledakan.
Film Thunderbolts* mungkin eksperimen yang nggak sempurna, tapi penuh niat baik. Ibaratnya, film ini bukan tentang menyelamatkan dunia dari alien atau ancaman kosmik, tapi tentang orang-orang rusak yang mencoba menemukan tempatnya kembali.
Apakah aku akan menonton film ini lagi? Mungkin dalam waktu dekat.
Skor: 3,5/5
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS