Tyler Perry kembali dengan Film Duplicity yang tayang di Prime Video sejak 20 Maret 2025. Kali ini Tyler Perry menghadirkan kisah yang berkutat pada ketidakadilan sosial dan hubungan yang penuh intrik. Skripnya ditulis Tyler Perry sendiri dan diproduksi sama rumah produksinya sendiri, Tyler Perry Studios.
Namun, meskipun premis yang diusung cukup menarik, film ini tampaknya kurang mampu menggali potensi ceritanya secara maksimal. Dan aku akan mencoba mengulas film ini dengan jujur, tanpa menahan diri. Ups.
Sekilas tentang Film Duplicity
Film Duplicity mengisahkan tentang dua wanita karir, Fela Blackburn (diperankan Meagan Tandy) dan Marley Wells (Kat Graham), yang dipertemukan tragedi yang menimpa keduanya.
Fela kehilangan suaminya akibat kekerasan yang dilakukan polisi, dan Marley, pengacara sekaligus sahabat dan rekan kerja Fela, berusaha menemani serta mendukungnya melewati masa sulit itu.
Seiring berjalannya waktu, mereka berdua bersama dengan kolega mereka berupaya mengungkap kebenaran di balik kematian suami Fela yang nggak bersalah.
Semuanya terjadi di tengah konspirasi yang melibatkan pengaruh besar, serta masalah-masalah pribadi yang mulai mencuat. Ketegangan semakin meningkat seiring dengan terungkapnya plot yang lebih dalam dan penuh tipu muslihat.
Menarik memang, tapi ….
Impresi Selepas Nonton Film Duplicity
Film ini memang dimulai dengan premis yang cukup kuat dan berpotensi untuk menyentuh banyak hati penonton, terutama dengan tema ketidakadilan sosial dan sistem yang korup.
Namun, meski aku merasa cukup tertarik pada cerita awalnya, seiring berjalannya waktu aku mulai kayak terjebak dalam pusaran plot yang tampak dibuat-buat dan jauh dari kesan mendalam.
Rasanya film ini nggak tahu apa yang sebenarnya ingin disampaikannya. Kekerasan polisi, pengaruh media, dan kekacauan yang muncul dari sistem yang rusak memang diangkat, tapi semuanya terasa hanya sebagai alat untuk menggiring penonton pada twist yang terlalu dipaksakan.
Saat aku mulai merasakan alur mulai mengarah ke sisi yang lebih rumit, aku malah merasa kayak jadi karakter dalam Series It’s Always Sunny in Philadelphia, yang berusaha mengikuti setiap perubahan plot yang datang tiba-tiba. Bahkan, munculnya beberapa karakter yang krusial di pertengahan cerita membuatku merasa agak bingung, seolah-olah sutradara ingin membuat plot yang mengejutkan, tapi jatuhnya malah membingungkan.
Kemudian, ketika aku mulai mencium sedikit adanya keterlibatan pihak kepolisian dalam cerita ini, aku sudah bisa menebak bagaimana film ini akan berakhir. Jujurly, aku sempat berharap ada sesuatu yang lebih orisinal atau bahkan menyentuh, tapi yang aku dapatkan malah hanya lapisan-lapisan cerita yang lebih terasa seperti permainan plot ketimbang penggambaran isu sosial yang serius.
Apa yang mengecewakan lagi? Rasisme, ketidakadilan sosial, dan kekerasan dalam rumah tangga memang merupakan isu penting, tapi dalam Film Duplicity, semua itu terasa begitu dangkal dan terkesan dibuat hanya untuk mengisi durasi film.
Pada akhirnya, Film Duplicity pengembangan plotnya nggak cukup kuat untuk menahan perhatianku hingga akhir.
Eh, tapi tentu aja, ini hanyalah ulasan dariku—seseorang yang cuma penikmat film, bukan kritikus profesional. Bisa jadi, yang menurutku kurang berhasil, justru adalah hal yang kamu sukai. Pengalaman nonton itu sifatnya pribadi banget. Jadi, bisa saja Film Duplicity bakal punya kesan yang beda di kamu dibanding di aku. Dan itu sah-sah saja.
Karena pada akhirnya, bagus atau nggaknya sebuah film bukan cuma soal teknis atau pendapat orang lain. Itu soal selera. Dan selera itu nggak bisa diperdebatkan. Jadi kalau kamu penasaran, tontonlah sendiri. Jangan terlalu memandang ulasan ini sebagai patokan. Bisa jadi, yang aku anggap biasa saja, justru jadi favoritmu.
Skor: 1/5