Nggak Harus Sedarah, Keluarga Bisa Lahir dari Tempat yang Tidak Terduga

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Nggak Harus Sedarah, Keluarga Bisa Lahir dari Tempat yang Tidak Terduga
Foto Scene Film Panggil Aku Ayah (IMDb)

Aku selalu punya bayangan soal penagih utang. Biasanya bawa motor lengkap dengan jaket kulit hitam, ngomel-ngomel di depan rumah orang, atau ngetuk pintu dengan cara yang bikin jantung langsung copot. Makanya, waktu dengar ada Film Panggil Aku Ayah, yang tokoh utamanya penagih utang, aku pikir, “Oke, ini pasti cerita penuh intimidasi.” Eh, ternyata, sutradara Benni Setiawan malah ngajak menempuh jalur sebaliknya; jalur yang lembut, penuh kasih, dan (nggak nyangka) bikin mata basah.

Film produksi Visinema Studios ini adalah adaptasi resmi dari Film Korea Pawn (2020). Premisnya sederhana sih. Dedi (diperankan Ringgo Agus Rahman) dan sepupunya, Tatang (Boris Bokir), berprofesi sebagai penagih utang. Suatu hari, mereka ‘menerima’ anak kecil bernama Intan (Myesha Lin) sebagai jaminan karena sang ibu (diperankan Sita Nursanti) nggak sanggup membayar utang. Tadinya cuma mau ‘merawat’ sebentar, tapi keadaan berkata lain. Hari berganti tahun, dan sebelum mereka sadar, Intan tumbuh jadi gadis dewasa (Tissa Biani), dan dua penagih utang itu, entah bagaimana, berubah jadi sosok ayah baginya.

Buatku, di situlah penonton dibuat bergejolak hati dengan menghadirkan trope ‘preman baik hati’, yang sebenarnya sudah sering kita temui di film atau sinetron, tapi kali ini dibungkus dengan kedalaman emosi yang jauh lebih tulus. 

Dedi dan Tatang bukan pahlawan tanpa cela. Mereka nggak tiba-tiba jadi malaikat begitu saja. Ada proses; kadang canggung, kadang konyol; yang bikin mereka pelan-pelan membuka hati. Dari cuma numpang lewat di hidup Intan, sampai akhirnya jadi rumah baginya.

Aku paham kenapa karakter seperti ini begitu disukai penonton. Ada sesuatu yang menenangkan saat melihat orang dari ‘dunia keras’ bisa berubah total karena ketemu satu orang yang tepat. Ada kontras yang bikin ceritanya lebih nempel di hati. Penagih utang itu, dalam imajinasi kita, identik dengan ancaman. Namun di sini, mereka belajar mengikat tali sepatu anak, menyiapkan sarapan, atau cuma duduk menenangkan anak yang takut tidur sendiri. Kontras itu bikin momen-momen kecil terasa besar.

Yang menarik, Benni Setiawan nggak sebatas copy-paste cerita dari versi Koreanya. Dia ngasih napas lokal yang kental. Dari pemilihan nama ‘Dedi’ dan julukan ‘Pacil’ (singkatan Kepala Cilik), sampai lokasi syuting yang membungkus cerita dengan suasana khas Indonesia, bahkan bumbu bahasa Sunda yang menghangatkan dialog. 

Dan jangan lupakan adegan yang memanfaatkan lagu Tegar milik Rossa, lagu cinta yang tiba-tiba dialihkan maknanya jadi tentang kasih sayang orang tua. Momen itu sukses bikin tenggorokan aku tercekat.

Sebagai drama keluarga, Film Panggil Aku Ayah nggak terjebak pada eksploitasi kemiskinan tokohnya. Rumah mereka sederhana, baju mereka biasa, tapi semua itu disusun dengan warna-warna yang nggak norak dan terasa pas. Ada keindahan dalam kesahajaan yang jarang aku lihat di film Indonesia akhir-akhir ini.

Buat diriku Film Panggil Aku Ayah semacam pengingat, bahwa keluarga bisa lahir dari tempat-tempat yang nggak pernah kita duga. Kadang, orang yang kita sangka cuma numpang lewat di hidup kita, ternyata diam-diam sedang membangun rumah untuk kita di hatinya. Dan di dunia yang sering bikin kita ragu pada kebaikan orang lain, trope ‘preman baik hati’ seperti Dedi dan Tatang adalah secuil harapan bahwa di balik kulit keras seseorang, selalu ada kemungkinan untuk menemukan hati yang hangat.

Jadi kalau nonton film ini, jangan cuma bawa tissue. Siapkan juga hati, karena kemungkinan besar, Sobat Yoursay akan pulang dari bioskop sambil mikir: ternyata, keluarga itu soal siapa yang mau tinggal, bukan soal siapa yang kebetulan ada di KTP.

Jangan sampai nggak nonton Film Panggil Aku Ayah, ya!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak