Terkadang, Kamu Hanya Perlu Nonton Film Buat Sembuh dari Luka Batin

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Terkadang, Kamu Hanya Perlu Nonton Film Buat Sembuh dari Luka Batin
Ilustrasi dari Poster Film Sore: Istri Masa Depan (Instagram/cerita_films)

Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, nggak semua luka bisa dilihat mata. Banyak orang berjalan dengan hati yang retak, pikiran yang lelah, dan jiwa yang terasa kosong. Meski dari luar, mereka tampak baik-baik saja.

Luka batin seringkali nggak punya bentuk, tapi dampaknya nyata. Bisa membuat seseorang kehilangan arah, merasa sendirian, bahkan kehilangan harapan. Di saat seperti itu, pertanyaan pun muncul: Apakah film bisa membantu menyembuhkan luka-luka semacam itu?

Meski terdengar sederhana, jawabannya bisa jadi, iya. Bukan sebagai obat mujarab, tentu saja. Film bukan pengganti psikolog atau terapi profesional. Namun, film bisa jadi bagian penting dari proses penyembuhan. Ya, bisa jadi jendela untuk melihat ke dalam diri sendiri, pelukan nggak terlihat yang memberi rasa nyaman, atau suara lembut yang berkata, “Kamu nggak sendirian.”

Film menyentuh kita lewat cerita. Dan cerita selalu punya kekuatan. Dalam film, seseorang bisa melihat dirinya tecermin dalam karakter fiksi, dalam konflik yang dihadirkan, atau bahkan dalam momen hening yang nggak diisi kata-kata. 

Film memberi ruang untuk merasakan apa yang sulit dijelaskan. Tentunya, film nggak memaksa kita ‘harus kuat’ atau ‘harus move on’, tapi menemani.

Bahkan terkait kemampuannya memvalidasi emosi. Banyak orang tumbuh dalam lingkungan yang membuat mereka merasa bersalah saat sedih, dianggap lemah saat cemas, atau dinilai berlebihan saat merasa kecewa. Nah, film bisa menghadirkan narasi yang berkata sebaliknya, yakni: bahwa marah, takut, kehilangan, semua itu adalah bagian dari menjadi manusia.

Dan ketika seseorang menyaksikan karakter yang bergulat dengan perasaan serupa, ada semacam kelegaan batin. Bahwa apa yang dirasakan itu nyata, sah, dan bukan sesuatu yang harus ditekan.

Film juga bisa jadi ruang katharsis, yaitu pelepasan emosi yang menumpuk. Menangis saat menonton film bukan berarti cengeng, kadang itu cara tubuh dan hati melepaskan beban yang terlalu lama dipendam. Film jadi seperti pintu yang dibuka sedikit demi sedikit, memberi jalan buat perasaan untuk mengalir, dan untuk jiwa yang terluka mulai bernapas lega. Bahkan, setelah layar gelap dan kredit bergulir, efek emosional itu bisa tinggal lama dalam diri penonton.

Selain itu, film seringkali membawa penonton pada perenungan personal, yang ngajak berpikir, merenung, dan kadang mempertanyakan ulang hal-hal yang selama ini dianggap biasa. Tentang hubungan yang renggang, tentang masa lalu yang belum berdamai, tentang mimpi yang dikubur dalam diam. Film nggak harus menyodorkan jawaban, tapi membuka percakapan dengan diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul setelah nonton bisa menjadi langkah pertama menuju pemulihan.

Yang nggak kalah penting, film juga bisa memberikan harapan. Nggak semua luka butuh solusi instan. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah harapan kecil bahwa semuanya bisa membaik dan masih ada hari esok yang bisa dijalani. Film punya kekuatan itu. Dalam kisah-kisah yang penuh kegetiran tapi juga keberanian, dalam karakter yang jatuh berkali-kali tapi terus bangkit, penonton bisa melihat bahwa kegelapan bukan akhir dari cerita.

Tentu saja, nggak semua film cocok untuk semua orang. Seseorang yang sedang dalam kondisi rapuh perlu memilih dengan hati-hati apa yang mau ditonton. Ada kalanya film justru memicu trauma atau rasa cemas yang makin berat. Intinya, dengan pilihan yang tepat, film bisa jadi semacam terapi sunyi, yang menghibur tanpa menggurui, menguatkan tanpa berteriak, menyembuhkan tanpa menyentuh secara fisik.

Yang membuat film begitu istimewa tentu saja karena menggabungkan banyak elemen seni sekaligus cerita, musik, visual, ekspresi, dan suasana. Kombinasi itu menciptakan pengalaman emosional yang utuh, yang bisa terasa sangat personal meski film sudah ditonton jutaan orang. Setiap orang akan membawa pulang pengalaman yang berbeda dari film yang sama, karena yang disentuh adalah bagian terdalam dari masing-masing diri.

Pada akhirnya, penyembuhan luka batin adalah proses yang rumit dan nggak selalu terlihat jelas hasilnya. Namun, dalam perjalanan itu, film bisa jadi teman yang nggak ngasih janji palsu perihal bahwa semuanya akan baik-baik saja. Iya, dalam hal ini, film ngasih ruang untuk beristirahat sejenak, untuk merasa dimengerti, dan untuk memulai lagi. Pelan-pelan.

Dan mungkin, di antara adegan demi adegan, seseorang akan menemukan kekuatan baru. Bukan karena ceritanya hebat, atau karena filmnya sempurna, tapi karena merasa ‘ditemani’. 

Sudahkah hari ini Sobat Yoursay nonton film?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak