Kisah Anak Pengungsi dari Suriah dalam Novel The Boys at the Back of The Class

Ayu Nabila | Ardina Praf
Kisah Anak Pengungsi dari Suriah dalam Novel The Boys at the Back of The Class
Novel The Boy at the Back of the Class (goodreads.com)

Jika kalian tertarik untuk membaca novel anak dengan kisah yang cukup haru dan menarik, Novel The Boy at The Back of the Class bisa menjadi rekomendasi untuk kalian baca.

Cerita novel ini bermula ketika seorang anak bernama Ahmet tiba di sebuah sekolah di Inggris. Dia jarang bicara, dan duduk di kursi paling belakang.

Ahmet adalah seorang pengungsi asal Suriah yang telah kehilangan kontak dengan keluarganya akibat konflik di negaranya.

Saat itu, ia masih belum bisa bicara bahasa inggris, sehingga membuatnya sulit beradaptasi.

Salah satu hal yang paling menonjol dari novel ini adalah bagaimana Onjali Q. Raúf menggambarkan karakter anak-anak yang penuh rasa ingin tahu, polos, dan tidak cepat menghakimi.

Alih-alih menggunakan sudut pandang Ahmet, Raúf justru memilih menceritakan kisah ini lewat narasi seorang anak di kelasnya.

Pilihan ini terasa tepat karena pembaca bisa ikut melihat bagaimana lingkungan sekitar merespons kehadiran Ahmet.

Teman-teman Ahmet yang tidak tahu kondisi yang sebenarnya selalu berprasangka buruk kepadanya. Ada juga beberapa guru yang menunjukkan sikap kurang ramah kepadanya.

Dari sini, pembaca belajar bahwa ketakutan terhadap hal yang asing kerap muncul dari kurangnya pemahaman.

Mengangkat isu-isu penting seperti perbedaan budaya menjadi salah satu kekuatan utama novel ini. Bahasa yang digunakan Onjali Q. Raúf cukup ringan tanpa terdengar menggurui.

Sebaliknya, ia membiarkan karakter-karakter anak di dalamnya berbicara dan bertindak sesuai usia mereka.

Melalui rasa ingin tahu anak-anak tersebut, mereka justru menunjukkan bagaimana mereka harus bersikap dan memberikan empatin kepada orang lain tanpa menghakimi.

Dengan begitu, pesan moral dari novel ini tersampaikan ke pembaca dengan baik.

Humor-humor kecil di beberapa bagian cerita pun membuat buku ini tetap terasa ringan dan menyenangkan dibaca.

Tak hanya berfokus pada tema pertemanan dan empati, novel ini juga menyisipkan petualangan seru.

Saat keempat sahabat di kelas itu mengetahui bahwa orang tua Ahmet masih belum ditemukan, mereka merancang sebuah aksi spontan yang penuh keberanian demi membantu teman barunya itu.

Sekilas, apa yang mereka lakukan tampak mustahil. Bermodalkan keberanian dan kepedulian, anak-anak itu terdorong untuk melakukan sesuatu yang luar biasa.

Yang menarik, ada bagian-bagian di novel ini yang cukup menghibur, salah satunya saat mereka menyusun rencana nekat untuk menyampaikan pesan khusus kepada Ratu Inggris.

Aksi itu tentu saja dipenuhi kekacauan khas anak-anak, namun justru itulah yang membuat cerita ini terasa hangat sekaligus lucu. Momen-momen seperti ini menjadi jeda ringan di tengah cerita yang membahas tema serius.

Buku ini menjadi pengingat bahwa dunia yang lebih ramah dan penuh empati bisa dimulai dari lingkungan sekitar.

Meskipun ceritanya dikemas sederhana lewat sudut pandang anak-anak, pesan tentang empati, keberanian menerima perbedaan, dan pentingnya memperjuangkan kebaikan tetap terasa kuat dan universal.

Buku ini bisa jadi pengantar yang hangat untuk obrolan seputar isu sosial yang kadang sulit disampaikan ke anak-anak, tanpa kesan menggurui.

Selain itu, gaya penceritaan Onjali Q. Raúf yang ringan tapi penuh makna juga membuat buku ini menyenangkan dibaca segala usia.

Cocok banget jadi bacaan bersama anak, diskusi di kelas, atau sekadar pengingat bagi orang dewasa tentang pentingnya kebaikan di tengah ketidakpastian.

Sebuah bacaan yang pantas direkomendasikan untuk anak-anak dan orang tua yang ingin mengajak buah hati mereka mengenal dunia di luar buku pelajaran.

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak