Siapa yang nggak kenal penyakit kanker? Hampir semua orang pasti mengetahuinya, bahkan langsung atau nggak langsung, pernah bersentuhan dengan kisah pilu dari penyakit itu.
Inilah yang diangkat dalam Film Audrey’s Children, drama inspiratif yang disutradarai Ami Canaan Mann dengan durasi ±110 menit. Tayang perdana di Philadelphia Film Festival ke-33 pada 25 Oktober 2024, setelah itu tayang di Tribeca Film Festival 2024 dan memenangkan kategori Best Feature.
Film ini menyorot perjalanan hidup Dr. Audrey Evans yang diperankan Natalie Dormer. Dr. Evans adalah onkolog asal Inggris yang mengubah wajah dunia medis, terutama dalam hal pengobatan kanker pada anak-anak. Berlatarkan akhir tahun 1960-an di Children’s Hospital of Philadelphia (CHOP),
Film Audrey’s Children bakal membawa kita ke masa ketika tingkat kesembuhan kanker anak baru menyentuh angka yang sangat menyedihkan, yakni 10 persen. Berkat dedikasi Dr. Evans, angka kesembuhan jadi melonjak sampai kurang lebih 50 persen.
Penasaran dengan kisah selanjutnya? Sini kepoin terus!
Sekilas tentang Film Audrey’s Children
Secara garis besar, film ini menceritakan kedatangan Dr. Evans di CHOP dengan segudang prestasi yang dia bawa.
Dr. Evans penerima beasiswa Fulbright dan pernah bekerja dengan pelopor kemoterapi, Sidney Farber. Dengan modal ilmu dan tekad, dia membawa teori baru, yakni: Menggabungkan dua jenis kemoterapi yang berbeda.
Tentu, jalan yang dia tempuh nggak mulus. Dia harus berhadapan dengan birokrasi, keterbatasan dana, etika medis, bahkan sesekali harus melanggar aturan demi menyelamatkan nyawa.
Percayalah, masih banyak momen emosional yang lebih baik Sobat Yoursay tonton sendiri. Kalau penasaran detail kesan-kesannya, sini merapat dan kepoin bareng!
Impresi Selepas Nonton Film Audrey’s Children
Kukira suguhan ceritanya bakal formal banget, eh ternyata, Film Audrey’s Children bukan film medis yang kaku. Film ini terasa hidup berkat interaksi hangat antara Natalie Dormer dan para aktor cilik yang jadi pasiennya.
Melalui penghayatan Natalie Dormer, karakter Dr. Evans yang dia perankan, tampil jadi sosok yang begitu kompleks: Tegas, meskipun ke pasien dewasa, tapi bisa selembut sutra saat berbicara dengan anak-anak yang tengah berjuang melawan sakitnya. Aktingnya kayak menyala di setiap adegan, dan aku bisa merasakan betapa Natalie Dormer benar-benar menyelami jiwa tokoh yang diperankannya.
Di sisi lain, kehadiran Jimmi Simpson sebagai Dr. Dan D’Angio lumayan tampil beda dan ngasih warna ke suasana dalam film ini.
Biasanya Simpson lebih sering muncul dalam peran-perannya yang nyeleneh, tapi di sini dia tampil tenang dan berkarakter. Karakternya menjadi rekan sekaligus cerminan buat Dr. Evans, yang nggak ragu menegur kala sahabatnya melangkah terlalu jauh.
Ada juga Brandon Micheal Hall sebagai Dr. Brian Faust, yang membawa semangat muda dengan kharismanya dalam tim kecil yang mencoba merombak sistem pengobatan lama.
Kalau bicara soal produksi, aku angkat topi untuk Amber Unkle yang menangani desain produksinya. Dengan jadwal syuting yang katanya singkat dan bujet minim, setting rumah sakitnya tampak realistis; kusam, institusional, tapi nggak membosankan di mata.
Kostumnya juga oke-oke lho, terutama pilihan warna merah yang dikenakan Natalie Dormer dalam beberapa adegan penting, seolah-olah menegaskan semangat membara yang membedakan Dr. Evans dari lingkungan sekitarnya yang dingin dan kaku.
Sebagai orang yang hidup di era teknologi serba canggih, aku cukup tersentuh saat melihat bagaimana Dr. Evans dan timnya dulu bekerja. Nggak ada Excel atau AI yang menganalisis data. Mereka hanya mengandalkan kartu indeks yang ditempel di dinding, berusaha mengurai pola untuk menemukan cara terbaik mengobati setiap pasien.
Dan dari situlah lahir tiga pencapaian besar: Sistem staging kanker yang inovatif, kombinasi kemoterapi yang lebih efektif, dan ini yang paling menyentuh, yaitu munculnya kesadaran terkait bahwa pasien anak nggak cukup hanya disembuhkan fisiknya, tapi juga harus didukung secara emosional dengan bantuan orang-orang terdekat.
Salah satu momen ikonik dalam film ini dan cukup mencuri senyumku, ketika Dr. Evans nekat melompat ke kolam renang dengan pakaian lengkap, demi membuktikan satu poin penting kepada atasannya, Dr. C. Everett Koop, yang diperankan dengan penuh Clancy Brown.
Memang, ada bagian-bagian di film ini yang aku rasa masih bisa digali lebih dalam. Beberapa aspek ilmiah dan perjalanan pribadinya terasa dipadatkan, mungkin karena keterbatasan durasi. Namun, daya tarik Film Audrey’s Children ada pada pesannya: Bila mana kecerdasan disokong keteguhan hati dan kasih sayang, tantangan sebesar apa pun yang datang, pasti bisa dipecahkan.
Pokoknya bagiku, ini nggak cuma kisah tentang perjuangan seorang dokter, tapi juga tentang harapan, yang bahkan di masa tergelap, selalu ada cahaya bisa menuntun kita keluar.
Skor: 3,5/5
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS