Ulasan Novel How to End A Love Story:Ketika Cinta Harus Bertemu Luka Lama

Ayu Nabila | aisyah khurin
Ulasan Novel How to End A Love Story:Ketika Cinta Harus Bertemu Luka Lama
Novel How to End A Love Story (goodreads.com)

"How to End a Love Story" merupakan debut novel fiksi dewasa dari Yulin Kuang, seorang penulis skenario dan sutradara yang sebelumnya dikenal lewat karya-karyanya di dunia perfilman.

Novel ini mengangkat kisah cinta yang tidak biasa tentang dua orang dewasa muda yang terikat masa lalu kelam yang sama, namun justru dipertemukan kembali dalam situasi yang memaksa mereka bekerja sama.

Ceritanya berpusat pada Helen Zhang, seorang penulis novel dewasa muda yang sedang naik daun, dan Grant Shepard, seorang penulis skenario yang dikontrak untuk mengadaptasi novel Helen menjadi serial televisi.

Mereka bertemu kembali setelah lebih dari satu dekade tidak berkomunikasi, di mana luka lama dan kenangan pahit menjadi bagian besar dari dinamika hubungan mereka.

Yang membuat novel ini sangat kuat secara emosional adalah tragedi masa lalu yang menyatukan sekaligus memisahkan Helen dan Grant. Keduanya terikat oleh kecelakaan tragis yang menyebabkan kematian adik perempuan Helen, Beth, saat masih duduk di bangku SMA.

Grant adalah pacar Beth kala itu, dan keterlibatannya, baik langsung maupun tidak langsung, membuat pertemuan mereka kembali menjadi sangat kompleks.

Yulin Kuang menulis hubungan Helen dan Grant dengan kedalaman psikologis yang menyentuh.

Mereka tidak sekadar dua orang yang masih memiliki chemistry, tetapi juga dua jiwa yang dipenuhi rasa bersalah, luka batin, dan pertanyaan yang tak pernah terjawab. Dinamika ini memberikan ketegangan emosional yang menjadi inti cerita.

Salah satu tema utama novel ini adalah bagaimana seseorang bisa berdamai dengan masa lalu. Helen menyimpan banyak kemarahan dan rasa kehilangan, sedangkan Grant pun menyimpan beban rasa bersalah.

Pertemuan kembali mereka bukanlah reuni romantis yang manis, melainkan perjalanan menuju pemahaman, pengampunan, dan mungkin cinta yang lahir dari kejujuran.

Sebagai seorang penulis skenario, Kuang membawa gaya penulisan yang sangat sinematik dan visual. Pembaca bisa dengan mudah membayangkan adegan-adegan dalam novel ini seperti menonton film. Dialog yang tajam dan narasi yang penuh nuansa emosi membuat setiap bab terasa intens dan nyata.

Menariknya, plot novel ini juga memuat elemen meta, Helen dan Grant bekerja untuk mengadaptasi novel Helen yang berjudul June Bloom ke dalam serial TV.

Proses ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana kisah pribadi bisa dieksploitasi, dimodifikasi, atau bahkan dimaknai ulang lewat medium lain. Ini menjadi refleksi tajam tentang kepemilikan cerita dan trauma sebagai bahan konsumsi publik.

Helen digambarkan sebagai sosok yang kuat dan cerdas, namun sangat tertutup. Grant, di sisi lain, berjuang untuk menebus kesalahan dan membuktikan bahwa ia telah berubah.

Karakter mereka ditulis dengan lapisan kompleksitas yang membuat pembaca bisa merasakan empati terhadap keduanya, meskipun keputusan mereka terkadang kontradiktif.

Novel ini juga menyentuh dinamika antara penulis dan karya mereka. Helen harus menghadapi kenyataan bahwa cerita yang ia tulis terinspirasi oleh masa lalunya yang menyakitkan.

Grant, sebagai orang luar yang akan “menghidupkan” cerita itu lewat layar kaca, menjadi semacam cermin yang memperlihatkan kembali trauma Helen dalam bentuk yang lebih publik.

Konflik dalam novel ini tidak hanya bersifat emosional dan internal, tapi juga eksternal. Ada tekanan dari pihak studio, perbedaan visi kreatif, dan ekspektasi publik terhadap proyek adaptasi tersebut. Semua ini menambah lapisan ketegangan yang membuat cerita tetap dinamis dan tidak monoton.

Meski penuh luka dan konflik, Helen dan Grant tidak bisa menolak ketertarikan mereka satu sama lain.

Ruang menulis adegan-adegan romantis dengan sensualitas yang subtil namun menggugah, mencerminkan bagaimana cinta bisa tetap tumbuh di antara dua orang yang terluka, bukan meski, tapi justru karena mereka saling memahami luka masing-masing.

Helen adalah karakter Asia-Amerika, dan identitasnya tidak hanya menjadi detail tempelan, tetapi dibangun dengan konteks keluarga, budaya, dan ekspektasi yang relevan.

Representasi ini menambah kekayaan cerita dan memberikan ruang bagi suara-suara yang sering kali terpinggirkan dalam fiksi dewasa.

Pacing novel ini tergolong lambat di awal, karena Kuang menyusun fondasi emosional dan sejarah karakter dengan teliti.

Namun seiring berjalannya cerita, ketegangan semakin meningkat, dan pembaca dibawa dalam perjalanan emosi yang memuncak dengan cara yang memuaskan.

Tanpa memberikan terlalu banyak spoiler, akhir dari "How to End a Love Story" terasa realistis, bukan dalam arti pesimis, tetapi dalam kematangan.

Hal itu bukan cerita cinta yang ajaib dan penuh pelarian, melainkan kisah cinta yang lahir dari keberanian untuk menghadapi rasa sakit dan membuka diri pada kemungkinan baru.

"How to End a Love Story" adalah novel yang jujur, menyentuh, dan penuh nuansa tentang bagaimana dua orang bisa kembali menemukan cinta di tengah reruntuhan masa lalu.

Yulin Kuang berhasil meramu kisah yang rumit menjadi narasi yang menyentuh hati tanpa menjadi melodramatis. Ini bukan hanya kisah cinta, tapi juga kisah penyembuhan.

Identitas Buku

Judul: How to End a Love Story

Penulis: Yulin Kuang

Penerbit: Avon

Tanggal Terbit: 1 Mei 2024

Tebal: 384 Halaman

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak