Di tengah berita yang hampir tiap hari dipenuhi gambar reruntuhan, sirine, dan tangisan dari Timur Tengah, muncul sudah Film There is Another Way, dokumenter yang kayak berbisik lirih ke penonton.
Disutradarai Stephen Apkon dan diproduksi Reconsider Films, film ini mengangkat kisah nyata dari salah satu konflik paling kompleks di dunia: Israel dan Palestina. Namun alih-alih menunjuk siapa yang salah atau benar, film ini mencoba melakukan sesuatu yang lebih sulit, yakni MENDENGARKAN.
Hmmm … sini merapat buat yang pada kepo!
Sekilas tentang Film There is Another Away
‘There Is Another Way’ dibuka dengan tragedi serangan mendadak Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan ratusan lainnya diculik. Peristiwa ini menjadi titik awal dari aksi balasan militer besar-besaran Israel ke Gaza. Konflik yang terus berlanjut hingga hari ini dan telah merenggut puluhan ribu nyawa warga Palestina.
Namun film ini bukan hanya soal angka. Bukan pula hanya dokumentasi kekejaman. Ini adalah perjalanan menyusuri luka-luka dari dua bangsa yang saling mencintai tanah yang sama. Disusun dengan rekaman-rekaman emosional dari dua komunitas yang berbeda tapi serupa dalam duka: para orangtua, anak-anak, aktivis, bahkan tentara yang sama-sama kehilangan orang-orang terkasih.
Film ini memilih menyembunyikan identitas narasumber hingga akhir, agar penonton bisa mendengarkan isi hati mereka tanpa prasangka latar belakang. Dan baru memperkenalkan mereka di bagian akhir.
Impresi Selepas Nonton Film There is Another Way
Film dokumenter soal konflik politik biasanya penuh dengan suara miring dan data yang digiring ke satu arah. Namun, Film There is Another Way terasa berbeda. Ada rasa damai yang diselipkan di tengah kekacauan, walaupun beberapa adegan (seperti mayat-mayat di jalanan Gaza, wajah-wajah yang hancur karena kehilangan, atau tentara yang bersorak saat kota dibom) benar-benar menghantam perasaanku.
Yang paling membekas buatku saat momen Yonatan Zeigen, putra dari aktivis perdamaian Vivian Silver yang tewas dalam serangan Hamas, menyatakan bahwa baik tentara Israel maupun pejuang Palestina sejatinya adalah korban. Pernyataannya menggetarkan.
Juga ada Michal HaLev, seorang ibu dari Israel yang anaknya, Laor Abramov, tewas di hari naas itu. Saat dia menerima email berisi foto misil yang bertuliskan nama anaknya, yang dikirim sebagai bentuk ‘dukungan’ balas dendam dari sesama warga Israel. Aku tuh merasakan betapa ngerinya hidup dalam atmosfer yang penuh dendam dan kehilangan kemanusiaan. Namun, sosok Michael HaLev memilih untuk nggak ikut tenggelam dalam kebencian. “Satu-satunya tujuan hidupku sekarang,” katanya, “adalah menyembuhkan kemanusiaan yang terluka ini.”
Film ini memang nggak sempurna. Terasa terlalu hati-hati di awal. Mungkin sengaja menghindari membuat penonton dari satu sisi merasa tersinggung. Bahkan keterlibatan militer Amerika Serikat baru disebutkan di bagian akhir melalui data statistik di kredit akhir, yang mencatat bahwa AS mengirim $30 miliar bantuan militer ke Israel dan hanya $1 miliar bantuan kemanusiaan ke Gaza sejak musim gugur 2023.
Dan karena ini film dokumenter, nggak ada aktor yang memerankan tokoh. Namun wajah-wajah yang muncul di layar—para ibu, ayah, anak-anak, aktivis seperti Ahmed Al-Helou dari Combatants for Peace, hingga dukungan dari aktor Stephen Lang yang terlibat dalam promosi dan diskusi seputar film ini.
‘There Is Another Way’ jelas bukanlah tontonan ringan, tapi ini film yang perlu ditonton, terutama sama mereka yang sudah terlalu lama memihak satu sisi tanpa membuka telinga untuk sisi lainnya.
Gitu deh. Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina bukan hanya cerita tentang tanah yang diperebutkan, roket-roket yang ditembakkan, atau angka-angka korban yang terus bertambah. Di balik semua itu, ada jiwa-jiwa yang hancur, keluarga yang nggak utuh lagi, dan masa depan yang terenggut sebelum sempat tumbuh.
Film ini nggak menyuruh kita (diriku) untuk memilih pihak kok, malah kesannya menantang diriku untuk terus ‘mendengarkan’. Mulai dari ibu-ibu Palestina yang kehilangan anak dalam serangan udara, hingga ayah-ayah Israel yang anaknya diculik atau tewas pada 7 Oktober 2023. Mereka dihadirkan bukan sebagai representasi politik, tapi sebagai manusia yang sama-sama tersayat luka.
Alih-alih memperkuat narasi “kami korban, mereka pelaku”, film ini justru meruntuhkan tembok stereotip itu, terutama lewat pilihan sinematik yang nggak menampilkan identitas narasumber sampai diungkap di penghujung. Strategi ini ampuh sih membuat penonton, siapa pun, mendengar lebih dalam tanpa berprasangka di awal.
Namun, tentu saja film ini nggak mengaburkan ketimpangan. Gambar-gambar kehancuran di Gaza ditampilkan apa adanya: gedung runtuh, anak-anak yang kehilangan rumah, wajah-wajah trauma. Data yang diselipkan di akhir film menegaskan bahwa kekerasan yang dibungkus dalih keamanan tetaplah kekerasan, dan bahwa ketidakadilan struktural itu nyata!
‘There Is Another Way’ memang nggak ngasih solusi, tapi membuka ruang yang nyaris punah dalam diskusi soal konflik ini.
Buat sebagian Sobat Yoursay, terutama yang baru mulai mencoba memahami konflik Israel-Palestina, mungkin film ini bisa jadi pintu masuk. Namun, buatku, film ini terlalu ragu-ragu untuk benar-benar menyampaikan kenyataan yang menyakitkan. Dan karena itu, aku nggak bisa dengan ringan hati merekomendasikan film ini. Titik!