Ulasan Buku Pasien, Saat Luka Keluarga Menjadi Teror Psikologis yang Nyata

Ayu Nabila | Fitri Rusandi
Ulasan Buku Pasien, Saat Luka Keluarga Menjadi Teror Psikologis yang Nyata
Buku Pasien karya Naomi Midori (Goodreads.com)

Seorang wanita muda terbangun di ruangan rumah sakit jiwa tanpa ingatan siapa dirinya. Ia hanya tahu satu hal dirinya disebut sebagai pasien dan tidak ada yang mau menjelaskan mengapa ia berada di sana. Dalam usaha merebut kembali ingatannya, ia menyadari bahwa kebenaran yang terpendam justru lebih mengerikan daripada lupa.

Di tempat yang seharusnya menyembuhkan, ia malah menemukan kepingan-kepingan masa lalu yang penuh trauma, kebohongan, dan rahasia kelam keluarganya sendiri. Seiring ingatannya pulih sedikit demi sedikit, batas antara kewarasan dan kegilaan pun semakin kabur. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang patut dipercaya? Dan yang paling mengerikan apakah ia benar-benar korban atau justru pelaku?

Ulasan Novel Pasien

Dalam dunia fiksi thriller Indonesia, Pasien muncul sebagai karya yang bukan hanya menyeramkan dalam arti harfiah, tetapi juga menampar keras sisi-sisi rapuh manusia yang sering diabaikan. Naomi Midori menghidangkan cerita yang tak hanya menegangkan, tetapi juga menggugah pikiran dan hati.

Novel ini sejak awal sudah memberikan nuansa tegang yang merayap. Tanpa basa-basi, pembaca langsung dilempar ke dalam kekacauan psikologis yang dialami tokohnya. Tidak ada waktu untuk bersantai bab demi bab seolah memaksa pembaca menahan napas, dengan narasi yang intens dan atmosfer yang begitu menghimpit. Namun yang menjadikan Pasien benar-benar kuat adalah bagaimana Naomi mengisi ketegangan itu dengan lapisan-lapisan makna sosial yang tajam.

Salah satu benang merah yang sangat kuat dalam novel ini adalah refleksi terhadap realitas keluarga disfungsional. Lewat kisah si pasien yang tak disebut namanya, pembaca diajak menyaksikan betapa besar luka yang bisa ditorehkan oleh orangtua yang tidak siap secara emosional, mental, bahkan finansial. Di balik semua teror psikologis, Pasien sejatinya adalah teriakan sunyi anak-anak yang tak pernah diminta untuk dilahirkan ke dalam situasi yang kacau.

Membaca novel ini membuat saya berpikir ulang tentang warisan-warisan lama yang kerap kita anggap biasa seperti anggapan bahwa banyak anak akan membawa banyak rezeki. Pasien menunjukkan bahwa keyakinan semacam itu sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang. Jika seseorang belum siap menjadi orangtua secara utuh, maka keputusannya untuk memiliki banyak anak bisa menjadi malapetaka, bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk anak-anak yang harus tumbuh dalam kekacauan tersebut.

Novel ini juga membuka ruang bagi pembaca untuk merefleksikan pilihan hidup seperti childfree, yang masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat. Tapi dalam Pasien, kita seolah dihadapkan pada realita pahit bahwa menjadi orangtua bukan soal meneruskan garis keturunan, melainkan soal tanggung jawab dan ketika tanggung jawab itu diabaikan, maka trauma akan diwariskan, bukan cinta.

Secara teknis, kekuatan Naomi Midori terletak pada gaya penceritaannya yang lugas tapi tajam, atmosfer yang padat, dan plot yang terstruktur dengan rapi. Ia tahu bagaimana cara menjaga ritme ketegangan, memberikan petunjuk kecil yang menggiring pembaca ke spekulasi, lalu menghancurkannya dengan twist yang mengejutkan. Gokil sih, benar-benar mind-blowing! Cerita ini tidak hanya membuat deg-degan, tapi juga meninggalkan dampak emosional yang bertahan lama setelah buku ditutup.

Sebagai penulis Indonesia, Naomi Midori membuktikan bahwa karya lokal pun bisa bersaing dengan thriller-thriller luar negeri. Bahkan, keberaniannya mengangkat isu sensitif seperti gangguan mental, pola asuh yang toxic, dan tekanan sosial terhadap perempuan dan keluarga, menjadikan novel ini lebih dari sekadar hiburan, Ini adalah karya yang penting.

Dan untuk siapa pun yang belum membaca Pasien, serius jangan sampai melewatkan pengalaman membaca yang satu ini. Ini bukan hanya perjalanan menegangkan, tetapi juga sebuah pelajaran hidup yang keras, jujur, dan tak terduga. Dunia sudah cukup rumit, dan lewat novel ini, Naomi mengingatkan kita bahwa banyak luka bisa dicegah asal ada keberanian untuk berhenti melanggengkan pola yang salah.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak