Setelah sukses besar dengan Almond, Sohn Won Pyung kembali hadir lewat karya terbarunya yang tak kalah menggugah, Tube. Jika Almond dikenal luas karena kemampuannya menyentuh sisi emosional pembaca, maka Tube melanjutkan jejak itu dengan kisah yang lebih dewasa, lebih dalam, dan tak kalah menyayat.
Kisah novel Tube bermula dari seorang pria paruh baya yang bernama Kim Seong Geon. Ia menjadi tokoh utama novel ini dengan karakter yang cukup berbeda dari novel kebanyakan lainnya.
Di usia lima puluh, ia berdiri di titik lelah hidup. Dihantam kegagalan, kehilangan arah, dan mencoba tetap bertahan meski hidup terus-menerus menggempurnya
Inilah kekuatan utama Tube, kemampuannya untuk membawa pembaca menelusuri dunia yang penuh abu-abu, dunia yang jarang dibicarakan, tapi sangat nyata.
Sohn Won Pyung tidak mencoba menciptakan pahlawan. Ia justru menyuguhkan tokoh yang sangat manusiawi, lemah, marah, ragu, namun tetap mencoba. Kim Seong Geon adalah cermin dari banyak orang yang terus berjuang, meskipun jalan pulang tak lagi terlihat jelas.
Ia tidak diberi akhir yang manis atau solusi instan. Justru di sanalah letak kejujuran cerita ini bahwa hidup kadang tidak menawarkan kemenangan besar, melainkan hanya kesempatan kecil untuk bertahan satu hari lagi.
Yang membuat Tube semakin berkesan adalah kehadiran Park Sil Yong, sosok dewasa yang memandang rintangan hidup bukan sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari kenikmatan perjalanan. Ia bukan hadir untuk menyelamatkan, tapi menjadi penyeimbang yang memberi warna pada dinamika cerita.
Sil yong memberi sudut pandang yang berbeda, bahwa kesulitan bukan hal yang harus dihindari, melainkan dihadapi, dinikmati, bahkan dirayakan.
Lewat kedua tokoh ini, pembaca diajak melihat bahwa perubahan bukan berarti kita menjadi pribadi yang sepenuhnya baru. Sebesar apa pun perubahan yang kita alami, serpihan diri yang lama akan tetap tinggal, mengakar dalam ingatan, dalam cara kita merasa, dan dalam bagaimana kita menyikapi dunia.
Dan itu bukan kegagalan, melainkan sebuah keniscayaan dalam proses menjadi manusia seutuhnya.
Secara fisik, buku ini tampil sederhana namun elegan. Judul Tube yang minimalis dan sampulnya yang tenang, justru menyimpan kedalaman makna di baliknya. Jumlah halamannya tidak terlalu tebal, membuatnya mudah diikuti bahkan oleh pembaca yang tidak terbiasa membaca novel panjang.
Ditambah dengan terjemahan yang halus dan terasa natural, menjadikan Tube sangat nyaman untuk dinikmati, terutama bagi pembaca yang mencari cerita dengan muatan emosional yang kuat dan reflektif.
Dalam catatan khusus di akhir buku, Sohn Won Pyung menjelaskan bahwa Tube lahir dari keprihatinannya melihat dunia yang terus bergerak cepat, namun kerap abai pada mereka yang tersisih.
Ia menuliskannya bukan sebagai bentuk penghakiman, tapi sebagai pengingat: bahwa di tengah gegap gempita kehidupan, ada orang-orang yang hidup dalam diam, bergulat dengan luka dan kenyataan pahit yang tak terlihat.
Tube adalah cerminan sunyi dari pergulatan batin seseorang yang perlahan mencoba menerima kenyataan bahwa hidup sering kali tak sejalan dengan harapan, namun tetap pantas untuk diperjuangkan.
Alurnya yang tenang seolah membawa kitaa untuk merenung bahwa keberhasilan bukanlah tujuan utama yang perlu kita raih untuk mencapai kemenangan hidup. Dan menjadi sosok yang baik pun bukan soal tanpa cacat, melainkan tentang tetap berusaha, meski tak sempurna.
Sebuah novel yang patut dibaca oleh siapa pun yang pernah merasa kehilangan arah, yang pernah tenggelam dalam keputusasaan, dan yang sedang belajar menerima bahwa hidup, dengan segala pahit dan manisnya, tetap layak dijalani.