Pernahkah kamu merasa lelah karena terus-menerus mengejar kesempurnaan? Merasa cemas karena hidup tak berjalan sesuai rencana, dan semuanya tampak “kurang”?
Jika seperti itu, buku Wabi Sabi The Wisdom in Imperfection karya Nobuo Suzuki akan menjadi referensi yang tepat.
Buku ini memperkenalkan salah satu filosofi Jepang yaitu Wabi Sabi. Sebuah pandangan hidup yang mengajak kita untuk berdamai dengan ketidaksempurnaan, menyadari bahwa segala hal bersifat sementara, dan menerima bahwa perubahan adalah bagian alami dari hidup.
Tidak ada yang abadi, tidak ada yang benar-benar sempurna. Dan justru di situlah keindahannya.
Suzuki menulis dengan gaya yang tenang dan hangat. Bukunya ringan, bahasanya juga mudah dipahami. Membaca buku ini layaknya memiliki teman ngobrol yang nyaman.
Sejak awal, penulis sudah jujur bahwa Wabi Sabi bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan satu definisi. Bukan sekedar teori, melainkan cara untuk mengubah sudut pandang kita ketika melihat dunia yang terkadang terlihat rapuh dan tidak sempurna.
Buku ini juga bukan hanya berisi filosofi kosong. Suzuki menyajikannya lewat kisah-kisah pribadi, legenda, dan anekdot yang terasa dekat dan membumi.
Salah satu kisah yang paling menyentuh adalah tentang seorang biksu yang menyapu taman hingga bersih. Lalu, ia menjatuhkan sebuah daun di jalan yang sudah dibersihkan. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan memang terkadang lahir dari ketidaksempurnaan.
Terlalu berusaha merapikan dan mengontrol segalanya bisa saja menghilangkan sisi manusiawi dan keaslian dari hidup itu sendiri.
Ibaratnya ketika seseorang membeli mobil baru. Ia harus memiliki kesadaran penuh bahwa suatu saat nanti, entah cepat atau lambat, mobil itu pasti akan lecet atau penyok.
Alih-alih dilanda kecemasan dalam menjaga kesempurnaan, ia lebih baik memilih berdamai sejak awal. Dan dari sikap itu, lahirlah ketenangan, karena tidak lagi perlu khawatir terhadap sesuatu yang memang tak terelakkan.
Menariknya, buku ini tidak hanya membahas Wabi Sabi, tetapi juga memperkenalkan kita pada berbagai filosofi Jepang lain yang senada, seperti kintsugi, ichigo ichie, danshari, dan seni Jepang lainnya.
Semua disajikan dengan gaya yang sederhana namun tetap mengandung makna yang bisa direnungkan secara mendalam.
Menariknya, buku ini disusun dengan rapi, tidak hanya dari segi isi, tetapi juga visual yang membuatnya menyenangkan untuk dibaca.
Buku ini juga dilengkapi dengan ilustrasi serta foto-foto yang menyejukkan mata—ada yang berwarna, ada pula yang hitam putih, ditambah panduan meditasi singkat yang bisa langsung kamu coba untuk lebih meresapi isi pesan yang disampaikan.
Salah satu hal yang paling membekas setelah membaca buku ini adalah kesadaran bahwa sering kali rasa cemas muncul karena kita terlalu ingin mengontrol hal-hal yang sebenarnya di luar kuasa kita.
Kita sering terlalu keras pada diri sendiri, berharap semuanya berjalan sesuai rencana, dan kecewa ketika kenyataan berbeda. Suzuki seolah menyadarkan kita untuk menerima segala sesuatu dengan lapang dada.
Wabi Sabi: The Wisdom in Imperfection bukan hanya buku untuk dibaca sekali. Rasanya akat sangat menenangkan ketika kamu bisa membacanya di kala hati sedang kalut.
Lewat kata-katanya, kita diajak untuk melambat, melihat hidup dengan mata yang lebih lembut, dan memahami bahwa ketidaksempurnaan bukan hal yang harus disembunyikan, tapi justru sesuatu yang bisa kita peluk dan hargai sebagai bagian dari cerita hidup kita.
Buku ini mengajarkan kita untuk tidak sekadar hidup, tapi benar-benar mengalami hidup. Tidak dengan mencari yang sempurna, tapi dengan merasakan yang ada, apa adanya.