Kisah Toko Buku Ajaib di Novel The Vanishing Cherry Blossom Bookshop

Hikmawan Firdaus | Ardina Praf
Kisah Toko Buku Ajaib di Novel The Vanishing Cherry Blossom Bookshop
Novel The Vanishing Cherry Blossom Bookshop (goodreads.com)

Coba kalian bayangkan ada sebuah toko buku yang tak berada di jalanan ramai atau deretan pertokoan, melainkan muncul begitu saja. Di saat yang paling dibutuhkan, seolah muncul dari kehampaan, di antara waktu dan tempat yang tak pasti.

Inilah premis magis yang ditawarkan oleh The Vanishing Cherry Blossom Bookshop karya Takuya Asakura, sebuah novel yang begitu memikat lewat kehangatan narasi, namun tak luput dari titik-titik lemah di pertengahan.

Novel ini membawa kita melewati empat musim, masing-masing menyuguhkan satu kisah, satu pengunjung, dan satu luka lama yang perlahan diurai.

Ditemani oleh wangi kopi hangat dan atmosfer antik yang tenang, dua sosok pengelola toko, Sakura dan Kobako, menyambut siapa saja yang memasuki toko itu. Tapi, ini bukan sembarang toko buku.

Toko ini muncul di antara penyesalan yang tidak bisa diulang, dan masa kini yang harus tetap berjalan. Sejak awal, buku ini terasa seperti pelukan. Gaya penulisannya juga cukup puitis.

Ada nuansa realisme magis yang kental, sedikit mengingatkan pada Before the Coffee Gets Cold, namun dengan pendekatan yang lebih intim dan lembut.

Bedanya, novel ini berlatar tempat di toko buku, bukan kafe. Namun, toko buku  ini bukan toko biasa, melainkan seperti memiliki kekuatannya sendiri. Ia dijaga oleh seorang kucing yang tampaknya memegang kendali di sana.

Cerita pertama membuka lembaran novel dengan cukup emosional. Seorang wanita yang ditinggal ibunya secara mendadak dihadapkan pada rasa bersalah, kenangan yang tak tuntas, dan hubungan yang rumit.

Di bagian akhir cerita ini, ada satu adegan yang begitu mengena, membuat beberapa pembaca mungkin nyaris terisak, dan siapa pun yang pernah kehilangan akan memahami perasaan itu.

Babak kedua menyoroti seorang pria berumur yang tengah menghadapi demensia. Cerita ini terasa jujur dan mengiris, tidak hanya dari sudut pandang orang yang mengalaminya, tetapi juga dari perspektif keluarga yang perlahan merasa kehilangan walau orang yang mereka cintai masih ada secara fisik.

Sebagai seseorang yang akrab dengan kondisi seperti ini, saya merasa kisah ini ditulis dengan empati yang luar biasa, dan jujur, saya harus berhenti membaca sejenak hanya untuk menenangkan diri.

Sayangnya, pesona itu sedikit luntur di kisah ketiga. Fokus cerita beralih ke saudara kembar yang terpaksa harus berpisah. Mereka memutuskan untuk membuka rahasia lama yang telah mereka simpan sejak kehilangan teman masa kecil mereka.

Walaupun topiknya masih sejalan dengan tema utama, cerita ini terasa kurang kuat dibandingkan dua bagian sebelumnya.

Bagian ini seolah memberi kesan bahwa toko buku ini tidak begitu berperan dalam menyelesaikan masalah tokohnya. Sehingga terasa kurang menyatu dengan bagian sebelumnya.

Selain itu, transisi waktu dalam novel ini terkadang membingungkan, membuat pembaca harus lebih jeli mengikuti perubahan antar adegan.

Elemen fantasi yang menyatu dengan kenyataan terkadang membuat kita bertanya ini sedang terjadi sekarang atau hanya memori yang dibangkitkan oleh kekuatan misterius toko tersebut?

Namun, di sisi lain, justru itu yang membuat buku ini terasa berbeda dan unik, meski butuh konsentrasi lebih saat membaca.

Secara keseluruhan, The Vanishing Cherry Blossom Bookshop adalah novel yang penuh kehangatan dan kedalaman emosional. Ia mengajak kita merenungkan luka yang belum sembuh, kata-kata yang tak sempat terucap, dan kesempatan kedua yang kadang datang dalam bentuk yang paling tak kita duga.

Untuk pecinta kisah kehidupan yang kontemplatif dengan sentuhan magis, buku ini bisa jadi teman yang menghibur sekaligus menyembuhkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak