Buku ini berkisah tentang seorang anak kecil bernama Iskandar Dzulkarnain (biasa dipanggil Nain). Sejak kecil, ia mengalami penderitaan yang mendalam. Ia menjadi korban penganiayaan dari ayahnya, sebuah luka batin yang terus membekas seiring waktu.
Meski begitu, Nain tetap menunjukkan sosok anak laki-laki yang baik, patuh, dan bertanggung jawab.
Ia adalah anak yang selalu mendahulukan orang lain, terutama ibunya dan sang adik, meskipun dirinya sendiri sedang terluka hebat secara emosional.
Salah satu hal yang mencuri perhatian dalam novel ini adalah ikatan emosional antara Nain dan sang ibu yang terasa begitu kuat.
Hanya ibunya yang selama ini bisa menjadi penenang di hati Nain yang resah dalam segala penderitaan yang ia alami. Namun, ia rela menyembunyikan perasaan marahnya demi menjaga perasaan ibunya.
Pada bagian ini, pembaca seperti ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Nain. Ia begitu sabar menghadapi segala cobaan itu demi orang lain.
Novel ini banyak berbicara soal keluarga dan persahabatan, dua tema yang dekat dengan kehidupan banyak pembaca.
Tidak hanya sisi manisnya saja, penulis juga mengangkat tema kekerasaan dalam rumah tangga dan pelecahan seksual terhadap anak.
Sejak halaman-halaman awal, penulis telah menyisipkan semacam penanda sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab kepada para pembaca, terutama bagi mereka yang mungkin pernah mengalami trauma yang sejalan dengan isi cerita.
Dari segi cerita, plot yang dihadirkan cukup kuat. Dengan melewati semua masalah itu, Nain tumbuh menjadi sosok yang tangguh dan berani mengambil keputusan besar. Ia bahkan punya keberanian untuk pergi meninggalkan rumahnya.
Sebuah pilihan yang tentu tidak ringan, apalagi bagi seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan dan kasih sayang yang nyaris tak ada.
Kedewasaan Nain yang muncul lebih awal dari seharusnya menyadarkan pembaca bahwa realita seperti ini mungkin juga dialami oleh banyak anak di luar sana. Tidak semua rumah bisa menjadi tempat yang aman untuk berlindung dan hidup bagi anak.
Meski isu yang diangkat sudah cukup bagus, ada beberapa hal di novel ini yang terasa kurang, misalnya pada bagian pemulihan trauma.
Dalam kehidupan nyata, proses penyembuhan dari kekerasan dan pelecehan tidak pernah mudah. Sering kali, luka meninggalkan jejak yang begitu dalam hingga mampu membentuk cara seseorang melihat dunia di sekitarnya.
Akan sangat membantu bila cerita ini juga mengeksplorasi bagaimana tokoh-tokoh pendukung seperti guru, teman, atau bahkan tokoh dewasa lain, terlibat dalam proses penyembuhan Nain. Hal ini tentu bisa memberikan lebih banyak dimensi dalam rangkaian cerita.
Dari segi gaya penulisan, narasinya sebenarnya sudah cukup enak diikuti. Tapi, di beberapa bagian terutama saat para tokohnya berdialog, terasa agak kaku.
Kalimat-kalimat yang disini digambarkan untuk diucapkan karakter laki-laki terdengar sedikit kaku, jadi tidak seperti percakapan sehari-hari yang biasa diucapkan anak laki-laki.
Ini bisa jadi karena pemilihan diksi yang terlalu formal atau penyusunan kalimat yang tidak menyerupai percakapan sehari-hari. Jika bagian ini dibuat lebih halus, mungkin pembaca akan bisa merasakan emosional yang lebih.
Secara keseluruhan, novel Pada Subuh yang Membawaku Pergi adalah sebuah bacaan yang bisa kita jadikan diskusi penting untuk beberapa isu kekerasan serta kesehatan mental.
Harapannya, ke depan penulis bisa lebih mengeksplorasi aspek psikologis tokohnya dengan lebih tajam. Semoga karya berikutnya bisa terus berkembang dan menyuarakan pengalaman yang sering kali tidak terlihat di permukaan.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS