Ulasan Buku Angin dari Tebing, Kisah Manis dan Heroik di Desa Padang Rumput

Hikmawan Firdaus | Akramunnisa Amir
Ulasan Buku Angin dari Tebing, Kisah Manis dan Heroik di Desa Padang Rumput
Sampul Buku Angin dari Tebing (Gramedia Digital)

Ketika ditanya buku apa yang pertama kali membuat saya hobi membaca, maka jawabannya adalah majalah Bobo yang tidak sengaja saya temukan di kardus barang-barang bekas 20 tahun yang lalu. Waktu itu, akses untuk membaca buku masih amat terbatas. Saya dibesarkan oleh keluarga yang masih acuh tak acuh dengan literasi.

Maka ketika menemukan bahan bacaan anak yang menarik dari majalah maupun potongan surat kabar, rasanya itu adalah salah satu hal yang amat menyenangkan.

Oleh karena itu, membaca buku anak di usia yang sudah terbilang dewasa ini adalah salah satu bentuk memuaskan inner child yang saat itu tidak tersalurkan.

Khususnya ketika menikmati waktu beristirahat atau menjelang tidur. Membaca buku anak adalah momen untuk kembali mengenang diri saya sebagai seorang anak yang memandang dunia ini dengan polos dan apa adanya. Terkadang penuh dengan rasa penasaran dan keingintahuan yang besar tentang alam sekitar.

Salah satu buku anak yang menurut saya cukup berkesan adalah buku berjudul 'Angin dari Tebing' yang ditulis oleh Clara NG dan diilustrasikan oleh Yustina Antonio.

Tidak seperti buku cerita anak lain dengan narasi yang pendek, membaca buku ini justru seperti sedang mendengarkan seseorang tengah mendongeng dengan diksi yang sederhana tapi indah, menyentuh, dan amat manis.

Gambar ilustrasinya juga sama sekali tidak norak. Malah, lewat gambar-gambar yang selaras dengan cerita, kita seperti diajak untuk hanyut dalam imajinasi tentang latar yang ada dalam buku.

Yakni di sebuah desa dekat tebing, terdapat sebuah sekolah yang tidak hanya berfungsi sebagai lingkungan belajar bagi 13 anak, tetapi juga merupakan ekosistem yang mendukung kehidupan hewan-hewan sekitarnya.

Ide cerita yang diusung cukup unik. Siangnya, sekolah Tebing berfungsi sebagai sebuah bangunan tempat anak-anak tersebut menimba ilmu. Tapi di sore harinya, sekolah tebing menjadi saksi bisu dari para warga hewan dengan celoteh dan pemikirannya.

Ada cicak di dinding yang pernah bahagia karena bisa menyaksikan indahnya bulan purnama, ada sapi di padang rumput yang bersedih karena batal bertemu dengan saudaranya, dan ada burung hantu dan bayi-bayinya yang lucu di atap sekolah.

Di balik kisah hangat para warga hewan tersebut, ada aksi heroik anak-anak sekolah Tebing yang mengibarkan bendera merah putih di padang rumput yang sunyi, mereka yang tersenyum gembira saat bermain layang-layang, hingga ibu guru Sheila yang pusing melihat anak-anak berebutan karena ingin bermain angklung.

Bagian yang saya sukai dari buku ini adalah bagaimana penulis selalu menyelipkan validasi yang tepat untuk semua perasaan yang dimiliki oleh setiap tokohnya. Seperti pada kisah berjudul Nilai yang Rendah Sekali. Yakni ketika Deni hampir menangis karena nilai ulangannya rendah.

Saat itu Ilham, teman Deni nyeletuk kalau anak laki-laki tidak boleh menangis, dan harus berusaha lebih giat lagi. Sekilas, tidak ada yang salah dengan perkataan Ilham. Tapi Deni teringat dengan perkataan ayahnya, bahwa tidak apa-apa menangis kalau kita memang sedih dan kecewa.

Dalam kisah lain berjudul Sapi di Padang Rumput, kita akan mendapati sebuah kisah yang amat manis tentang sikap empati para hewan yang betul-betul memahami perasaan si sapi yang sedang bersedih.

Secara umum, semua kisah yang ada di dalam buku ini adalah cerita-cerita yang menghangatkan hati. Ceritanya sederhana, tapi pesan-pesannya menyentuh.

Jika disuruh memilih buku apa yang suatu hari nanti ingin saya bacakan kepada anak, barangkali saya akan memilih buku ini sebagai salah satunya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak