Film Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai adalah sekuel yang dinanti-nantikan setelah kesuksesan film pertamanya tiga tahun lalu.
Disutradarai, diproduseri, dan ditulis oleh Helfi Kardit, film ini resmi tayang di bioskop Indonesia mulai tanggal 4 September 2025. Kali ini, Helroad Films menghadirkan cerita yang lebih gelap, lebih mencekam, dan sarat dengan isu sosial yang bikin aku nggak cuma merinding, tapi juga mikir.
Dengan latar tahun 1920-an di era Hindia Belanda, film ini nggak cuma soal jumpscare, tapi juga menggali konflik budaya, ilmu pengetahuan, dan kepercayaan mistis yang bikin ceritanya terasa kaya. Yuk, langsung aja simak ulasannya!
Menjelang Magrib 2 membawa kita ke Desa Karuhun, sebuah desa terpencil di kaki gunung pada masa penjajahan Belanda. Ceritanya berpusat pada Giandra (Aditya Zoni), dokter muda lulusan STOVIA yang penuh semangat ilmu pengetahuan modern.
Suatu hari, dia baca berita di koran Javasche Courant tentang Layla (Aisha Kastolan), gadis desa yang dipasung karena dianggap punya gangguan kejiwaan.
Pemasungan, yang kala itu dianggap wajar sebagai “penyembuhan” lewat ritual dukun, bikin Giandra geram. Berbekal ilmu medis, dia memutuskan pergi ke desa itu untuk menyelamatkan Layla.
Di sana, Giandra bertemu Rikke (Aurelia Lourdes), jurnalis keturunan Belanda-pribumi yang menulis berita tentang Layla. Bersama, mereka mulai menggali misteri di balik kondisi Layla, yang ternyata nggak sesederhana gangguan jiwa.
Ada sejarah kelam, kutukan turun-temurun, dan kepercayaan lokal bahwa Layla kerasukan iblis. Konflik antara sains dan mistisisme ini jadi inti cerita, ditambah teror mencekam yang muncul menjelang magrib—waktu yang dianggap sebagai celah antara dunia nyata dan gaib.
Dibandingkan film pertama yang pakai gaya docustyle, sekuel ini dikemas sebagai feature film dengan sinematografi yang lebih matang. Syuting di kaki Gunung Papandayan, Garut, bikin suasana film terasa autentik dan kelam.
Bayangin, rumah Layla yang dibangun dengan latar dua gunung megah, ditambah cuaca ekstrem, angin kencang, dan suhu sampai 11 derajat Celsius—bikin aktor seperti Aditya Zoni harus mengulang dialog berkali-kali karena gemetar kedinginan!
Horornya sendiri nggak cuma mengandalkan setan muncul tiba-tiba. Ada ketegangan psikologis yang dibangun lewat konflik budaya dan misteri di balik Layla.
Cerita tentang pemasungan—praktik menyedihkan yang terinspirasi dari pengalaman pribadi Helfi Kardit di Sumatra—bikin film ini punya bobot emosional.
Aku dan penonton lain diajak ngerasain ngeri sekaligus empati terhadap Layla, yang dianggap “berbahaya” oleh warga desa. Visualnya, dari hutan gelap sampai rumah pasung yang artistik, bikin bulu kudukku berdiri, apalagi ditambah scoring yang pas banget buat ningkatin ketegangan.
Review Film Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai

Aditya Zoni sebagai Giandra berhasil mencuri perhatian. Dia memerankan dokter yang idealis tapi terbentur kepercayaan masyarakat dengan natural. Riset mendalam yang dia lakukan bikin karakternya terasa hidup, meski kadang dialognya terhambat oleh suhu dingin lokasi syuting.
Aisha Kastolan sebagai Layla juga nggak kalah memukau. Dia berhasil nunjukin sisi tragis sekaligus misterius dari karakternya. Aurelia Lourdes sebagai Rikke dan Muthia Datau sebagai nenek Layla juga nambah warna dengan akting yang solid.
Yang bikin film ini beda adalah caranya mengemas isu sosial dalam balutan horor. Tema pemasungan, yang di masa itu dianggap solusi untuk gangguan kejiwaan, dikritik habis-habisan lewat sudut pandang Giandra.
Film ini juga menggali ketimpangan sosial dan ekonomi di era kolonial, plus konflik antara ilmu modern dan tradisi mistis. Ada pesan kemanusiaan yang kuat: orang dengan gangguan mental seharusnya diperlakukan dengan kasih sayang, bukan disiksa atau dirantai.
Bahkan, konteks keagamaan—misalnya ajaran Islam tentang perlakuan terhadap penderita gangguan jiwa—disinggung dengan elegan, bikin film ini lebih dari sekadar horor biasa.
Meski punya banyak kelebihan, film ini nggak sepenuhnya sempurna. Beberapa adegan terasa agak lambat, terutama saat cerita mencoba menjelaskan latar belakang sejarah. Buat penonton yang nggak sabaran, ini bisa bikin sedikit bosan.
Selain itu, beberapa jumpscare terasa klise dan kurang ngena dibandingkan ketegangan psikologis yang dibangun. Tapi, ini nggak terlalu mengganggu pengalaman keseluruhan, karena cerita dan atmosfernya tetap kuat.
Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai adalah film horor yang nggak cuma menakutkan, tapi juga punya hati. Dengan latar sejarah yang kental, akting yang oke, dan isu sosial yang relevan, film ini berhasil ngasih pengalaman sinematik yang beda.
Helfi Kardit sukses bikin sekuel yang nggak kalah dari film pertamanya, bahkan lebih dalam dari segi cerita dan visual. Buat kamu yang suka horor dengan bumbu budaya lokal dan konflik psikologis, film ini wajib masuk watchlist-mu. Siap-siap merinding mulai tanggal 4 September 2025 di bioskop!
Rating dari aku: 8/10. Saranku sih kalau nonton ajak temen buat nemenin, karena teror menjelang magrib ini nggak main-main!