Review Film Getih Ireng: Obsesi Memiliki Anak yang Berujung Malapetaka!

Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Review Film Getih Ireng: Obsesi Memiliki Anak yang Berujung Malapetaka!
Poster film Getih Ireng (IMDb)

Film horor Indonesia kembali mencuri perhatian dengan Getih Ireng, sebuah karya adaptasi dari thread horor sadis karya Jeropoint di media sosial.

Diproduksi oleh Hitmaker Studios dan disutradarai Tommy Dewo, film ini memadukan unsur mistis, kekerasan visual, dan drama emosional yang mendalam.

Dirilis perdana di bioskop Indonesia pada 16 Oktober 2025, di tengah suasana musim hujan yang kian memperkuat aura mencekam, Getih Ireng langsung menjadi topik hangat di kalangan penggemar horor.

Banyak penonton memuji keberanian film ini dalam menggali tema santet dan kutukan keluarga. Dalam ulasan ini, aku akan mengupas tuntas sinopsis, penampilan para aktor, serta kelebihan dan kekurangan yang membuat film ini patut disaksikan atau dilewatkan. Check it out!

Sinopsis cerita Getih Ireng berpusat pada pasangan suami istri muda, Pram (Darius Sinathrya) dan Rina (Titi Kamal), yang sangat mendambakan kehadiran seorang anak.

Akan tetapi, impian mereka terganggu oleh santet Getih Ireng, sebuah ilmu hitam yang menargetkan wanita hamil, menyebabkan keguguran berulang.

Setelah mengalami tragedi keguguran, Rina akhirnya hamil lagi, tapi kehamilan ini justru membawa teror yang lebih mengerikan.

Janin yang dikandungnya dirasuki ruh jahat, dan pasangan ini harus berjuang melawan kekuatan gaib yang semakin intens. Mereka mencari bantuan dari seorang dukun, tapi upaya tersebut malah memperburuk situasi, memicu serangkaian kejadian sadis yang melibatkan darah, penderitaan, dan pertarungan brutal.

Cerita ini diadaptasi dari thread Jeropoint yang viral karena kebrutalannya, kesadisan tidak hanya terletak pada adegan gore, tapi juga pada penderitaan emosional seorang ibu yang menyaksikan anaknya menderita.

Latar belakang film diambil di Solo dan Bandung, memberikan nuansa lokal yang kental dengan elemen budaya Jawa seperti santet dan ruh halus.

Dari segi cast, Getih Ireng menampilkan aktor-aktor berpengalaman yang mampu menghidupkan karakter dengan totalitas. Titi Kamal sebagai Rina tampil memukau, menyampaikan emosi keputusasaan dan ketakutan dengan sangat nyata.

Ekspresinya saat menghadapi teror membuatku ikut merasakan penderitaannya, terutama dalam adegan-adegan dramatis yang melibatkan kehamilan.

Darius Sinathrya sebagai Pram juga tidak kalah solid; ia berhasil menggambarkan sosok suami yang protektif tapi rentan, dengan chemistry yang kuat bersama Titi Kamal.

Sara Wijayanto, yang dikenal sebagai paranormal, berperan sebagai karakter kunci dengan konflik emosional yang dalam, menambah lapisan mistis pada film.

Sutradara Tommy Dewo, yang sebelumnya sukses dengan film-film serial seperti Ratu Adil dan Roman Dendam, kali ini fokus pada horor gore dengan pengaruh budaya Indonesia.

Ia dibantu oleh tim produksi Hitmaker Studios yang berpengalaman dalam genre horor, durasi film sekitar 106 menit, cukup padat untuk membangun ketegangan tanpa terasa bertele-tele.

Review Film Getih Ireng

Salah satu adegan di film Getih Ireng (IMDb)
Salah satu adegan di film Getih Ireng (IMDb)

Kurasa Getih Ireng berhasil menciptakan atmosfer horor yang konsisten dari awal hingga akhir. Babak pembuka dibangun dengan pendekatan misteri yang efektif, membuatku penasaran dan fokus menebak dalang di balik santet.

Elemen jumpscare tidak berlebihan, tapi ditempatkan dengan tepat untuk memicu jeritan spontan. Yang paling menonjol adalah klimaks di babak akhir, di mana pertarungan brutal antara manusia dan entitas gaib digambarkan secara over the top.

Gerakan kamera dinamis, efek suara yang menggelegar, dan koreografi aksi yang sadis saling bersinergi, menciptakan pengalaman yang menguji batas psikologisku.

Visual entitas, seperti sosok seorang kakek yang muncul secara tiba-tiba, menambah rasa ngeri dan was-was, membuatku selalu waspada terhadap kemunculan berikutnya.

Efek gore-nya realistis, dengan darah dan luka yang terasa nyata, meski kadang membuat aku ngilu atau mual. Tema keluarga dan kutukan turun-temurun juga dieksplorasi dengan baik, memberikan kedalaman emosional di balik teror fisik.

Film ini bukan hanya horor biasa, tapi juga kritik sosial tentang obsesi memiliki anak dan dampak ilmu hitam dalam masyarakat.

Meski demikian, Getih Ireng bukan tanpa cela. Beberapa kelemahan terlihat pada dialog yang terasa kurang menggigit, terutama dialek Jawa yang kurang autentik dan kadang terdengar dipaksakan.

CGI pada beberapa adegan juga masih kasar, seperti efek ruh atau santet yang terlihat kurang halus, meski tidak terlalu mengganggu keseluruhan narasinya sih.

Buat penonton yang sensitif terhadap kekerasan, film ini mungkin terlalu brutal, terutama adegan yang melibatkan penderitaan janin atau ibu hamil.

Namun, kekurangan ini tertutupi oleh kekuatan narasi yang dominan dan akting yang kuat kok, membuat film tetap seru dan meninggalkan kesan mendalam. Menandakan bahwa film ini berhasil memenuhi ekspektasi sebagai horor tersadis tahun ini.

Secara keseluruhan, Getih Ireng layak mendapat rating dariku: 8/10. Ini adalah film horor yang berani, inovatif, dan relevan dengan budaya Indonesia, cocok untuk pencinta genre yang mencari pengalaman mencekam.

Kalau kamu siap dengan teror brutal dan emosi yang mengaduk-aduk, segera tonton di bioskop terdekat deh. Tapi ingat, jangan nonton sendirian ya kalau kamu mudah takut!

Dengan tayangnya pada 16 Oktober 2025, film ini berpotensi menjadi box office horor Indonesia, mengikuti jejak pendahulunya. Getih Ireng membuktikan bahwa horor lokal bisa bersaing dengan produksi internasional, asal dieksekusi dengan niat dan keberanian.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak