suara hijau

Janji Kesetaraan Tinggal Janji, Pesisir Masih Tak Aman bagi Perempuan

Bimo Aria Fundrika | Ernik Budi Rahayu
Janji Kesetaraan Tinggal Janji, Pesisir Masih Tak Aman bagi Perempuan
Ilustrasi Perempuan Pesisir (pexels.com/Quang Nguyen Vinh)

Indonesia adalah negara yang punya banyak wilayah pesisir. Perempuan dan orang muda banyak yang menggantungkan hidupnya di wilayah pesisir. Namun, kenyataanya hidup perempuan dalam wilayah pesisir masih jauh dari kata aman.

Meskipun wilayah pesisir punya peran vital bagi ekonomi masyarakat maupun nasional, namun pembangunan tetap bias daratan. Infrastruktur sering absen.

Ada banyak permasalahan yang dialami wilayah pesisir, seperti sulit menemukan air bersih, sampah yang menumpuk, dan banjir rob yang datang setiap bulannya.

Dari sisi regulasi, Indonesia punya kebijakan yang cukup. Kita punya kebijakan adaptasi iklim maupun tata kelola pesisir. Namun, tanpa komitmen aturan akan hanya berhenti sebagai dokumen teknis.

Pembangunan nasional yang bersembunyi sebagai proyek strategis nasional, sebagian besar justru menimbulkan kerusakan ekologis. Dan dalam setiap keruasakan ekologis itu, perempuan adalah kelompok yang paling berdampak.

Krisis Ekologis Menekan, Hak Perempuan Hilang

Di pesisir utara Jakarta, perubahan iklim menurunkan pendapatan pesisir akibat abrasi dan penurunan muka tanah. Masyarakat pesisir punya beban ekonomi yang tinggi.

Akibatnya adalah pernikahan anak meningkat, dengan banyak anak perempuan yang menikah akibat tekanan ekonomi yang diperburuk oleh perubahan iklim, yang membatasi pilihan mereka dalam pekerjaan dan kehidupan.

Selain itu, perempuan pesisir juga punya beban ganda. Dimana mereka harus menjaga rumah sekaligus bekerja dalam aktivitas ekonommi yang sesungguhnya. Namun, pekerjaan mereka tetap dianggap sebagai kegiatan “membantu”, bukan bagian dari sektor ekonomi. Artinya ketimpangan dalam dunia profesi juga terjadi. Ketika krisis terjadi, pengorbanan pertama adalah waktu dan kesempatan perempuan.

Berbeda dengan wilayah pesisir Jakarta, Dilansir dari media Mongabay, Perempuan Timbulsloko, Sayung, Demak, Jawa Tengah tertatih-tatih alih profesi dari petani menjadi nelayan.

Mereka terus beradaptasi di tengah derita yang seakan tak ada habisnya. Rumah tenggelam, lahan pertanian jadi hamparan laut, kekerasan rumah tangga, masalah kesehatan, dan kemiskinan.

Yang perlu digaris bawahi saat ini adalah bagaimana pemerintah harus sigap menanggulangi bencana. Dalam seluruh SOP penanggulangan bencana, kebutuhan spesifik perempuan pesisir nyaris tidak muncul.

Tidak ada pendataan berbasis gender, tidak ada rencana evakuasi yang mempertimbangkan ibu hamil, orang tua tunggal, atau remaja perempuan. Padahal wilayah pesisir adalah episentrum krisis iklim dan bencana serupa akan terus berulang.

Hukumnya Ada, Implementasi Tetap Kurang

Melihat dari sisi hukum, Indonesia punya aturan yang menjelaskan soal gender ini. Secara eksplisit aturan tersebut ada di Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) yang seharusnya menjadi jaminan bahwa setiap kebijakan, termasuk pesisir harus punya perspektif gender.

Namun setelah lebih dari 20 tahun, tetapi implementasi kurang (hanya sebatas administratif). Pemerintah daerah kekurangan kapasitas unruk menerapkan PUG. Salah satu akar masalahnya adalah rendahnya kapasitas pemerintah dalam mengimplementasikan dan mengawasi kebijakan ini.

Ketidakhadiran mekanisme pemantauan yang sistematis serta kurangnya koordinasi lintas sektor semakin memperparah kesenjangan, membuat kebijakan tidak dioptimalkan untuk mengatasi marginalisasi, khususnya di komunitas pesisir yang rentan.

Dalam posisi ini, akibatnya kebutuhan perempuan pesisir hadir yang hidup paling dekat dengan wilayah pesisir namun paling jauh dari posisi kebijakan.

Pesisir Tidak Akan Aman Tanpa Perspektif Gender

Jika negara ingin wilayah pesisir tahan terhadap krisis iklim, maka perempuan harus jadi prioritas dalam pusat kebijakan. PUG tidak cukup dijadikan instruksi namun ia harus hadir di setiap bidang seluruh prohram pembangunan wilayah pesisir.

Selama PUG hanya hidup di atas kertas, pesisir Indonesia akan terus menjadi wilayah yang tak ramah bagi perempuan. Jika terus terjadi, pesisir hanya akan menjadi tempat di mana krisis ekologis dan ketidaksetaraan gender bertemu dan saling memperdalam.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak