Di musim libur akhir tahun 2025 yang ramai, bioskop-bioskop di Indonesia kedatangan sebuah rom-com yang segar dan menghangatkan hati berjudul Eternity. Film garapan sutradara David Freyn ini menghadirkan konsep out-of-the-box tentang akhirat, tempat cinta tak lagi ditentukan oleh perasaan, melainkan oleh prosedur birokrasi yang kaku dan mengikat.
Mengusung tiga aktor papan atas di antaranya Elizabeth Olsen, Miles Teller, dan Callum Turner. Eternity resmi tayang serentak di tanah air mulai hari ini, 3 Desember 2025, dan sudah bisa disaksikan di jaringan CGV, Cinépolis, Cinema XXI, serta bioskop-bioskop lainnya di seluruh Indonesia.
Film ini dirilis secara teatrikal di Amerika Serikat pada 26 November 2025, setelah memukau penonton di Toronto International Film Festival pada 7 September 2025. Bagi pencinta rom-com yang bosan dengan formula klise, Eternity adalah angin segar—campuran humor absurd, drama emosional, dan refleksi filosofis tentang cinta yang abadi.
Sinopsis: Segitiga Cinta Abadi di Stasiun Akhirat yang Birokratis

Cerita film ini berpusat pada Joan (Elizabeth Olsen), seorang wanita biasa yang tiba-tiba mendapati dirinya di "stasiun akhirat" setelah meninggal dunia.
Tempat ini bukan surga megah ala Hollywood, melainkan stasiun kereta yang birokratis, lengkap dengan hotel di atasnya dan aula konvensi di mana agen-agen afterlife memamerkan "eternity" bertema seperti Queer World, Outdoor World, atau bahkan Man-free World.
Di sini, jiwa-jiwa baru punya waktu seminggu untuk memilih paradise abadi mereka—pilihan yang permanen, tak bisa diubah, dan terikat ketat oleh aturan ketat seperti Westworld versi murahan.
Joan, yang kembali ke penampilan termudahnya saat bahagia, harus menghadapi dilema terbesar: memilih antara Larry (Miles Teller), suami keduanya yang setia tapi neurotic, atau Luke (Callum Turner), suami pertamanya yang tewas di Perang Korea dan telah menunggu puluhan tahun sebagai bartender di stasiun itu.
Tak bisa membawa keduanya, Joan terjebak dalam segitiga cinta yang penuh rahasia, penyesalan, dan tawa getir.
Skrip yang ditulis oleh Freyne bersama Patrick Cunnane brilian dalam membangun dunia afterlife ini. Bukan hanya latar belakang, tapi elemen birokratisnya jadi sumber humor utama: matahari terbit palsu dari gorden, agen kompetitif yang saling berebut komisi, dan ancaman "void" hitam pekat bagi yang tak patuh.
Plotnya mengalir cepat, mulai dari reuni manis Joan-Larry yang berubah jadi kompetisi tak terucap dengan Luke yang tenang tapi gigih.
Tanpa spoiler, film ini mengeksplorasi rahasia masa lalu yang muncul seperti bom waktu, membuatku ikut merenung: apakah cinta sejati itu kenyamanan sehari-hari atau gairah yang hilang?
Tema-tema seperti ketidakpastian hubungan, penyesalan hidup, dan pentingnya menghargai pasangan saat masih bernapas, disajikan dengan sentuhan ringan tapi mendalam, mengingatkan pada karya-karya Wes Anderson atau Taika Waititi.
Review Film Eternity

Inti kekuatan Eternity ada pada akting para pemerannya. Elizabeth Olsen, yang biasa kita lihat di peran-peran berat Marvel, benar-benar memukau sebagai Joan—seorang wanita rapuh yang terombang-ambing antara rasa bersalah dan hasrat pribadi.
Getar halus di suaranya dan gerak tubuhnya yang gelisah berhasil menangkap karakter yang selalu berada di ambang kehancuran emosional, sekaligus menunjukkan kekuatan batin baru yang tak pernah ia miliki saat masih hidup.
Miles Teller sebagai Larry membawa nuansa relatable: pria paruh baya yang tiba-tiba sadar betapa rapuhnya ikatan pernikahannya, dengan humor kering yang membuatnya tak terlupakan.
Callum Turner, sebagai Luke yang idealis, menawarkan kontras sempurna—tenang, penuh pesona, tapi menyimpan luka lama.
Duo pendukung Da’Vine Joy Randolph (sebagai agen Anna yang ambisius) dan John Early (agen Ryan) menambahkan bumbu komedi, sementara Olga Merediz sebagai sahabat Joan, Karen, memberikan momen emosional yang mengharukan.
Secara keseluruhan, chemistry trio utama terasa alami, membuat segitiga cinta ini bukan sekadar trope, tapi studi karakter yang mendalam.
Freyne, yang sebelumnya sukses dengan The Cured (2017), menangani arahan dengan tangan ringan tapi presisi.
Ia menyeimbangkan kegilaan visual afterlife—dari booth eternitas absurd seperti Ice Cream World atau Smoking World—dengan drama intim, tanpa satu pun lelucon yang mengganggu momen serius.
Sinematografi oleh Steve Cosens menangkap esensi purgatory: abu-abu birokratis yang kontras dengan warna-warni paradise palsu, menciptakan rasa claustrophobia yang lucu sekaligus menyedihkan.
Soundtrack indie folk dari komposer seperti Adrian Johnston menambah lapisan emosional, membuat adegan puncak terasa seperti pelukan hangat di tengah dingin eternity.
Keunggulan utama Eternity justru ada pada perpaduan apik antara humor yang nyentrik dan ketulusan emosi yang dalam.
Bukan rom-com klise dengan happy ending yang dipaksakan, film ini dengan berani melempar pertanyaan tajam: “Kenapa harus menunggu mati dulu baru memperbaiki hubungan?” lalu menjawabnya lewat tawa renyah sekaligus air mata yang tertahan.
Harus diakui, Elizabeth Olsen benar-benar membuktikan kelasnya di sini—dia adalah alasan besar kenapa film ini terasa begitu hidup dan memikat.
Seperti yang banyak orang bilang, Eternity memang “absolute charmer”: penuh punchline cerdas, dinamika hubungan yang terasa nyata sampai ke tulang, ditambah chemistry antarpemain yang bikin aku ikut deg-degan, serta premis yang benar-benar orisinal dan belum pernah ada duanya.
Tapi ya, tetap ada sedikit catatan kecil. Dunia akhirat yang dibangun terasa kadang kurang konsisten—contohnya, kenapa Beach World dan Yacht World harus dipisah padahal konsepnya mirip banget?
Elemen “void” yang sebenarnya cukup mencekam juga sayangnya hanya disentuh sekilas, jadi terkesan agak asal-asalan.
Soal ending, aku pribadi merasa agak terlalu menggantung dan ambivalen, tapi di sisi lain justru ambivalensi itulah yang bikin film ini terasa jauh lebih manusiawi dan realistis ketimbang rom-com pada umumnya.
Jadi bisa kusimpulkan, Eternity adalah film yang sempurna untuk ditonton berpasangan atau sendirian di bioskop. Dengan durasi 114 menit, ia tak membuang waktu, langsung menyentuh inti manusiawi: cinta tak pernah sederhana, bahkan di akhirat.
Rating pribadi dariku: 8.5/10. Jangan lewatkan—tayang mulai hari ini, bisa jadi pilihan eternity-mu untuk akhir pekan ini. Selamat menonton ya!