Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Ahmad Zubairi
Leao. (Instagram.com/@iamraelao93)

Kesuksesan AC Milan meraih Scudetto Serie-A musim ini adalah tidak lepas dari penggawa Rossoneri yang tampil cukup apik. Mereka mampu mengikuti instruksi Pioli dengan baik dan sempurna. Lalu dituangkan dengan baik dan sempurna pula instruksi tadi di atas lapangan. Salah satu nama dari mereka penggawa Rossoneri yang santer diperbincangkan di balik kesuksesan AC Milan meraih trofi itu, adalah Rafael Leao

Leao datang ke AC Milan tak sepenuhnya disambut dengan riang gembira. Melainkan dengan dilema dan keraguan orang-orang untuknya. Bahkan, mantan pelatih AC Milan, Fabio Capello, menganggap Leao bukanlah orang yang tepat untuk bermain di San Siro. 

Leao dianggap menyia-nyiakan potensinya di masa mendatang, penempatan bola Leao yang buruk dan stigma pedas lainnya. 

Tapi, Leao tetaplah Leao. Apa pun perspektif orang tentang dirinya yang dinilai buruk, tak ada balasan yang jauh lebih elegan bagi Leao ketimbang "tersenyum" mesra. 

Apa yang Fabio Capello itu ucap, baragkali sedikit ada benarnya juga. Pasalnya, Leao adalah pemain asal Portugal. Sedangkan di AC Milan, nyaris semua pemain asal Portugal yang pernah berseragam merah dan hitam itu tak mampu membuat Milanisti tersenyum dan tak bersinar sesuai ekspektasi. Kecuali, Rui Costa seorang. Maka, wajar saja bila Capello merendahkannya. 

Bahkan, Pioli yang awalnya menjadikan Leao sebagai striker, lalu menyulapnya diplot menjadi winger kiri, adalah bukti bahwa Leoa performanya memang kurang menjanjikan di mata Pioli di pos itu. 

Terlebih, di ujung tombak, harus berjibaku dengan Giroud dan Ibrahimovic. Makin berat tentunya bagi Leao untuk berkembang, mendapatkan menit bermain, berkontribusi atas Rossoneri dan mencetak gol lalu mendulang kemenangan. 

Apa yang dilakukan Pioli itu, terbukti ampuh. Leao akhirnya menjelma menjadi pemain AC Milan yang tak tergantikan posisinya di sayap kiri. Bagi Leao, Pioli mau memakai format 4,3,3, atau 4,2,3,1 itu tetap oke dan tak jadi masalah. Sebab, sudah tentu ia akan menjadi opsi pertama untuk mengisi sayap kiri, menjadi sumber kreativitas serangan AC Milan. 

Dan, di situlah Leao menyisiri pertahanan lawan, berpenetrasi ke kotak penalti lalu beraksi dan berakselerasi dengan mapan. Tak jarang, hasilnya, kalau tidak menciptakan gol, ya assist. Lalu datanglah kemenangan bagi AC Milan. 

Lihat! Bagaimana Leao mencetak tiga assist tatkala AC Milan melawan Sassuolo di penentuan Scudetto berkat penetrasi epiknya itu. 

***

Manusia normal dan berakal sehat pasti sepakat, bahwa pekerjaan yang menyenangkan adalah pekerjaan yang bikin bahagia, digaji dan hobi. Sepak bola salah satu contohnya. 

Dan Leao, demikian. Bermain bola adalah hal yang menurutnya sangat membahagiakan. Digaji, bermain lepas dan bersenang-senang. Kalah? Jangan dipikir. Yang penting main dulu. Yang penting bahagia. Dan yang tak kalah penting lagi, jangan lupa tersenyum.

***

Konon, kedua orang tua Leao menyuruh Leao untuk fokus menempuh pendidikan. Tapi, apa kata Leao? Itu tak menyenangkan. Dan tak membikin bahagia seperti pada saat memenangkan pertandingan sepak bola. 

Bagi Leao, bisa jadi bermain sepak bola tak harus diambil tegang, dan bukan hal yang wajib dilombakan. Sebagai pemain, ia tentu bodo amat apa kata orang-orang yang mencibirnya perihal kualitas yang dimilikinya dan permainannya di lapangan. Yang penting, bagi Leao adalah bermain, dan terus bermain dengan tenang, dengan racikan bumbu penuh kebahagian. Perkara mainnya kurang baik, atau gelar gagal didapat, boleh jadi urusan belakangan. Sing penting senyum. Biar bahagia. 

Cara ia menggiring bola di lapangan, sangat terlihat, bahwa ia benar-benar bahagia dalam mengolah si kulit bundar. Mau kalah atau menang, senyumannya selalu keluar. 

Dan memang begitu adanya. Saat mendrible bola, senyuman Leao selalu memancar. Lawan seakan tak lagi menjadi momok yang menakutkan dan bukan rintangan. Baginya, yang penting terus bermain dan itu yang bikin dia nyaman. Tersenyum adalah cara sederhana Leao melepas kebahagiaannya. 

Mungkin, kau mengira Leao itu stres. "Masak iya, main bola tersenyum terus?"

Leao memang unik. Bahkan, Pioli, pelatih AC Milan, sempat agak kaget juga pada pemain 22 tahun itu. Namun akhirnya, Pioli menyadarinya. Leao memang begitu. Lantas, apa yang mau kau bantah?

Bahkan, lebih parah lagi jika Leao dicap menghina orang yang semula memandangnya sebelah mata, atau lawan-lawannya di atas lapangan karena senyumannya: seakan merendahkan lawan dan orang lain. Tapi tidak. Ya, nggak tahu kalau dari sudut pandang Fabio Capello itu. 

***

Bagi kebanyakan orang, mungkin sepak bola harus dijalani dengan serius. Dan yang tak luput, adalah harus bermain dengan cara profesionalitas. Pioli, juga berpikir demikian. Tapi, saya sepakat, bahwa sepak bola itu layaknya seks. Sepak bola adalah tidak lepas dari gairah dan kenikmatan. Dan Leao, tahu betul bagaimana cara melepaskan gairah dan kenikmatan itu. Iya, dengan senyuman. Bukan dengan yang lain. Ingat! Se, nyu, man! 

Dan senyuman Leao, di musim ini membuahkan hasil yang manis. Entah ini keajaiban atau tidak. Senyumannya, bagaikan mimpi yang tercapai. Senyumnya yang selalu terukir di saat mendrible bola, mampu membawa AC Milan meraih Scudetto yang telah lama mereka inginkan. Dan tercapainya keinginan itu, karena penampilan Leao yang naik daun, mencair dan terus memukau di atas lapangan. 

Senyuman Leao itu kian memancar, dan tentu saja bagi Leao semakin menggembirakan. Pasalnya, setelah AC Milan didaulat menyandang Scudetto, ia dinobatkan menjadi pemain terbaik Serie-A musim ini. 

Ahmad Zubairi