Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | M. Fuad S. T.
Sandy Walsh saat menjalani debut bersama Yokohama F. Marinos (instagram @sandywalsh)

Pemain belakang Timnas Indonesia, Sandy Walsh tampaknya harus lebih bersabar untuk bisa kembali mendapatkan menit bermain kembali bersama klubnya, Yokohama F. Marinos.

Sebelumnya, berdasarkan data dari laman transfermarkt.com, mantan pemain KV Mechelen tersebut telah merasakan lima pertandingan berturut-turut tanpa menit bermain di Liga Jepang.

Semenjak pertandingan terakhirnya pada 2 April 2025 lalu, Sandy Walsh tercatat telah melewatkan lima pertarungan liga melawan Tokyo Verdy (5/4/2025), Kawasaki Frontale (9/4/2025), Avispa Fukuoka (12/4/2025), Shimizu S. Pulse (16/4/2025) dan Urawa Reds (20/4/2025).

Dan kini, di level pertarungan yang lebih tinggi melawan Al-Nassr pada gelaran Asian Champions League Elite, pemain berusia 30 tahun tersebut menambah panjang daftar penantiannya menjadi enam pertandingan beruntun tanpa merasakan menit bermain.

Kenyataan diparkirkannya Sandy Walsh dalam enam pertandingan berturut-turut oleh Yokohama F. Marinos tentunya melahirkan sebuah ironisme tersendiri.

Pasalnya, untuk kelas pemain dari Indonesia, Sandy Walsh termasuk deretan pemain yang cukup potensial untuk bisa bersaing di liga abroad.

Pengalamannya sedari kecil menimba ilmu sepak bola di iklim kompetisi Eropa, hingga curriculum vitae-nya yang penuh berisikan klub-klub berkelas benua biru seperti KV Mechelen, Zulte Waregem dan KRC Genk, seolah tak berarti apa-apa ketika dirinya berada di klub asal ibu kota prefektur Kanagawa tersebut.

Alih-alih bermain reguler, Sandy Walsh justru lebih mirip pemain "tambal sulam" di klubnya saat ini, meskipun secara kualitas dan pengalaman sudah tak diragukan lagi.

Liga Jepang Semakin Tak Ramah bagi Para Pemain Indonesia

Jika dibandingkan dengan para pendahulunya yang lebih dulu memutuskan untuk berkarier di Liga Jepang, tentunya secara teori Sandy Walsh memiliki lebih banyak amunisi ketimbang para pendahulunya untuk bersaing.

Bukan bermaksud untuk merendahkan kemampuan pemain sebelumnya seperti Ricky Yakobi, Irfan Bachdim, Stefano Lilipaly, Pratama Arhan dan Justin Hubner, namun perpindahan Sandy Walsh ke Liga Jepang relatif jauh lebih siap daripada para kompatriotnya tersebut.

Selain bermodalkan segudang pengalaman bersama berbagai klub di liga Eropa, Sandy juga memutuskan untuk hijrah ke Liga Negeri Matahari Terbit itu ketika usianya relatif sudah matang sebagai pemain sepak bola, yakni 30 tahun.

Namun ternyata, Sandy yang merupakan pemain tier utama di Timnas Indonesia pun tak mendapatkan tempat yang semestinya di Yokohama F. Marinos. Namun yang terjadi justru di luar perkiraan.

Lulusan akademi Anderlect ini bahkan lebih sering menjadi penonton kala rekan-rekan setimnya bermain di lapangan.

Kenyataan ini tentunya memantik sebuah asumsi yang cukup logis bagi para penggemar Timnas Indonesia. Jika pemain sekelas Sandy Walsh saja kemampuannya tak cukup untuk bisa bersaing di kerasnya liga sepak bola Jepang, apalagi pemain lain yang secara skill dan pengalaman lebih minim ketimbang dirinya?

Tentu ini adalah sebuah indikator nyata bahwa kompetisi liga Jepang tak akan pernah bisa ramah kepada para pemain yang berasal dari Indonesia.

Sandy yang bermodal banyak ilmu sepak bola dari benua Eropa, yang kata banyak orang merupakan kiblat sepak bola dunia, hingga sejauh ini "tak menjadi apa-apa" di liga domestik Jepang.

Mungkin apa yang terjadi pada Sandy saat ini, atau para pemain Indonesia sebelumnya bisa menjadi pembejalaran besar bagi para pemain dari tanah air.

Jika suatu saat ada klub Jepang yang menawari kontrak kepada pemain dari Indonesia, mungkin ada baiknya jika sang pemain berpikir ratusan kali untuk menerima, daripada akhirnya nanti hanya menjadi pajangan saja di liga negeri Asia Timur tersebut.

M. Fuad S. T.