Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Budi
Ilustrasi Saat Menjemput Kematian (Pixabay)

Hari ini hari rabu, tepat tanggal 21 Juli 2021. Saat aku masih terbaring di kasur yang empuk, menikmati nyamannya tidur saat matahari pagi mulai naik. Dalam pikirku akan berangkat pergi PKL di kantor KPU Majene kalau sudah pagi, setelah kemarin libur karena harus mengikuti Hari Raya Idul Adha. Iya, mamang juga karena momen tersebut sudah diliburkan, terlebih agar umat manusia dapat melaksanakan salah satu ibadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pagi itu, kira-kira masih pukul 05.30 WITA, aku belum sempat membuka handphone. Lalu tiba-tiba, terdengar suara nada dering di handphone saya "kring, kring, kring". Aku coba lihat telefon itu. Aku baca nama yang menelfon, ternyata tante yang ada di Tinambung.

Aku angkat dan ku mulai untuk berbicara. Namun, tanteku lebih dulu berbicara dan mengatakan, "Halo Budi, kau di mana," tanyanya dengan nada tergesa-gesa. Aku coba jawab dengan mata belum sepenuhnya terbuka, "saya di Majene, ada apa ya?". Saya menjawab dengan sedikit bertanya-tanya.

"Da'i o di buttu, alai i Nia, matei puayi Madawi," perintahnya dengan memakai bahasa Mandar. Intinya, ia menyuruh saya ke kampung jemput ibu untuk melayat ke rumah orang meninggal dunia. Yang meninggal adalah sepupu dari ibu saya, almarhum dikenal baik dan sangat akrab dengan ibu.

Aku sangat syok dan terkejut. Aku kebetulan berada di Majene, baru datang dari kampung halaman kemarin sore. Aku pun bangun dan bersiap-siap untuk menjemput ibu di kampung untuk melayat ke rumah almarhum.

Kalau sudah takdir, tentu tak ada yang bisa menolak. Semua yang bernyawa tentu akan menjemput kematian. Hanya saja kita tak pernah tahu, kapan dan kepada siapa yang akan dijemput lebih dahulu. Begitulah pikirku dengan sedikit merenung.

Sebelum balik ke kampung halaman, aku berpamit pada kakakku yang kebetulan kami berdua saja tinggal di rumah itu di Majene. Iya pun juga terkejut, dan menghela nafas, kemudian ia mengatakan, "oh iya, hati-hati."

Tepat jam 06.00 WITA, saya pun berangkat dari Majene menuju kampung halaman. Dalam perjalanan, aku hanya berpikir agar bisa cepat sampai di kampung halaman, kemudian selanjutnya akan berangkat pergi melayat di rumah almarhum di Pallu'da (Campalagian).

Saat sampai di rumah kampung halaman, tiba-tiba saja orang tua menanyakan kenapa balik dari Majene padahal seharusnya saya masuk kantor untuk PKL. Tanpa singkat saja aku menyampaikan, "matei tu'u puayi Madawi." Saya sampaikan berita kematian dengan memakai bahasa Mandar. Tidak lama setelah itu, saya pun berangkat bersama ibu ke rumah duka di Pallu'dai (Campalagian).

Budi