Beberapa minggu ini, media sosial diramaikan dengan penggabungan lagu Twice berjudul Likey dengan kata “lakik”. Setelah ditelusuri, hal tersebut menjadi viral karena komentar salah seorang netizen yang menyebut kurang “lakik” pada salah satu selebgram karena menggunakan skincare dan make-up.
Komentar netizen tersebut mencerminkan toxic masculinity di sebagain kalangan masyarakat. Toxic masculinity berkelindan erat dengan Patriarki mencampuradukan antara jenis kelamin dan gender, sehingga pelekatan istilah maskulin pada pria dan feminin pada perempuan sering kali mengundang kontroversi.
Deborah Prentice dan Erica Carranza dari Universitas Princeton punya studi yang membuktikan kalau pelekatan stereotip itu betul-betul lengket. Maskulin yang erat dengan laki-laki diidentikan sebagai: pemimpin, agresif, ambisius, analitis, tegas, atletik, kompetitif, keras pendirian, dominan, kuat, bersifat kepemimpinan, mandiri, individualis, mudah membuat keputusan, mandiri, punya sikap, kuat, dan berani ambil risiko.
Sementara feminin yang lekat pada perempuan berstereotip: pengasih, ceria, kekanak-kanakan, mudah tersentuh, tidak bermulut kasar, senang menenangkan perasaan sakit hati, gampang tersanjung, mudah ditipu, mencintai anak-anak, setia, peka terhadap kebutuhan orang lain, pemalu, lembut, berempati, mudah memahami, hangat, dan penurut.
Dalam industry musik pun tak melepaskan dikotomi antara feminin dan maskulin misalnya dalam musik Pop Amerika Serikat (AS) yang menggilai pada maskulinitas, testosteren dan hal yang berbau mascho pada artis pop prianya.
Kehadiran budaya popular korea (K-pop) seolah mendekonstruksi semuanya. Sekira saya SMA, saya muak sekali dengan hal yang berbau K-pop karena saya menganggap bahwa terlihat aneh ketika laki-laki harus menari dan bersolek. Sekitar tahun 2017 menjadi awal saya begitu menggilai dunia K-Pop lebih tepatnya musik-musik dari iKON dan Black Pink; boyband dan girlband asuhan YG Entertainment.
Perlahan saya mulai terbawa arus “Hallyu” atau menjadi tertarik untuk mempelajari Bahasa dan budaya Korea. K-Pop yang sampai hari ini dicaci, dimaki dan dihina sebagai suatu yang payah nyatanya memberikan banyak hal positif salah satunya yaitu memberikan nilai baru bagi saya tentang konsep maskulin dan feminin. Nilai baru tersebut berupa pandangan bahwa maskulintas tidak hanya untuk laki-laki dan tidak berhubungan dengan penampilan luar semata.
K-pop menjadikan titik untuk melihat usaha dalam menggoyangkan pandangan kaum patriariki dalam konsep maskulin. Bahwa pria yang bermake-up, berkulit putih dan menari pantas juga pantas untuk digilai dan sama machonya. Saya menjadi sadar bahwa K-pop telah memberikan pandangan yang terbuka untuk menghargai sesama. Tak melulu berkiblat bahwa menjadi laki-laki harus macho, harus maskulin agar “menjadi” laki-laki seutuhnya. Padahal tak ada yang salah jika laki-laki merawat diri atau menari.
K-pop perlahan mendekonstruksi maskulinitas dalam masyarakat termasuk pada saya.
Baca Juga
Artikel Terkait
Kolom
-
Dosen di Era Digital: Antara Pendidik dan Influencer
-
Menari di Antara Batas! Kebebasan Berekspresi di Sekolah vs Kampus
-
Menyusuri Lorong Ilmu! Buku Perpustakaan vs Jurnal Akademik
-
Janji Mundur atau Strategi Pencitraan? Membaca Ulang Pernyataan Prabowo
-
Tari Kontemporer Berbalut Kesenian Rakyat: Kolaborasi Komunitas Seni Jogja
Terkini
-
Beragam Genre, Ini 5 Drama China yang Dibintangi Wang Ziwen
-
T-Ara Sugar Free: Lagu Patah Hati dalam Irama Pesta yang Membara
-
WKU Kadin Saleh Husin: Perlu Keberpihakan Pemerintah Agar Industri Baja Nasional Tidak Mati
-
Ulasan Lagu LUCY Flowering, Musim Semi yang Penuh Harapan dan Kehangatan
-
Ayam Bakar sampai Bebek Goreng, Nikmatnya Menu Wong Solo Bikin Ketagihan