Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Christof
Ilustrasi puisi Golgota (AlemSánchez/Pexels).

Awan bersedih, langit menghitam sedih merana

Seorang pria terhuyung, menopang bongkahan kayu Salib celaka

Mahkota duri hinaan menancap, menggigit dalam di kepala

Kulit lusuh itu kini sobek tercabik menganga

Lihatlah, di sela bilur bilur penuh luka

Keringat bewarna merah bercampur darah kental nestapa

Sakit menjerit, begitu nyeri pedih tak ternyana

Ialah Yesus, seorang pengabdi, Dialah pelayan berkarisma

Kini tengah menghadapi takdir agung-Nya

Serahkan diri dalam kelam masa penuh siksa

Ikhlas genapi nubuat teladan dengan rela

Sendiri tak berteman, tak menampik nasib namun setia

Di lorong lorong kota jadi bukti sebuah kasih murninya cinta

Payah mendaki bukit laknat nan bengis, tak berdaya

Di atas kaki berjalan sekujur duka dalam dada

Hanya untuk sebuah jalan hapuskan dosa anak manusia

Palu godam cercaan dan cambukan setan bala tentara durjana

Kemana para murid, yang dulunya berjanji terus bersama

Saat engkau diludahi, dihina dan dicela

Dikerumuni orang orang penuh sorak bergelora

Sementara Kaum Farisi dan guru munafik yang menjebak-Nya

Tersenyum nyinyir dan mengejek sinis penuh jumawa

Yesus sempat terjatuh, rubuh menopang sengsara penuh lara

Sore itu puncak pelayanan luhur di Gunung Golgota

Saat jembatan surga tinggal sehasta

Tiang salib tak ubahnya altar sesembahan sesungguhnya

Mengakhiri karya keselamatan, tugas dan amanat mulia

Kini Ia telah naik ke surga, duduk di singgasana dengan jiwa sentosa

Karyanya kelak menjadi legenda dan tumpuan asa

Nata Christofa, Juli 2021

Christof