Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang berjalan berlarut-larut membawa berbagai dampak bagi anak. Anak secara alami butuh bersosialisasi, bermain dan bertemu teman-temannya, demi menunjang pertumbuhannnya. Namun, PJJ yang sudah berjalan selama kurang lebih satu setengah tahun ini membuat anak mulai kehilangan semangat belajar, bahkan mengancam kesehatan mental.
Menurut UNICEF, anak-anak yang tidak dapat mengakses sekolah secara langsung semakin tertinggal. UNICEF juga memberi pesan kepada para pemimpin dunia agar melakukan segala upaya agar sekolah tetap buka atau memprioritaskan agar sekolah bisa kembali dibuka (UNICEF Education Covid-19 Response Update, Oktober 2020).
Betapa banyak orang tua kewalahan mendampingi anak belajar daring di rumah. Betapa banyak pula anak yang kesulitan menyesuaikan diri dengan PJJ, sehingga efektivitas belajar menurun drastis. Belum lagi, anak mulai ketergantungan pada gawai.
Psikolog Elizabeth T. Santosa, penulis buku Raising Children in Digital Era (2015) dalam siaran YouTube FMB9ID_IKP tanggal 24 Juni 2021 mengatakan, tak kurang 65% anak sudah ketergantungan gawai, bahkan bisa sampai tantrum.
Lebih lanjut, ia mengatakan anak mulai bosan, malas mengerjakan tugas, konsentrasi menurun, sedih, bahkan bisa stres akibat terlalu lama belajar di rumah.
Dampak PJJ berkepanjangan secara umum meliputi ancaman anak menjadi putus sekolah, penurunan prestasi belajar, hingga ancaman pada kesehatan mental serta psikis anak-anak. Hal tersebutlah yang menjadi perhatian Kemendikbud, sehingga memberlakukan kebijakan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT).
Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengatakan, sekolah wajib memberi opsi PTMT demi menghindari gejala learning loss atau berkurangnya jam belajar dan semangat belajar peserta didik. Anak harus segera kembali ke sekolah, tetapi tetap dengan menerapkan disiplin protokol kesehatan.
Pembelajaran Tatap Muka Terbatas bisa digelar di wilayah PPKM Level 1-3. Tentu, PTMT harus memenuhi berbagai syarat yang ditetapkan sebagaimana panduan SKB 4 Menteri. Hal ini untuk tetap menjaga keselamatan dan kesehatan anak dan seluruh warga sekolah di tengah pandemi, sebagai hal paling utama yang harus diupayakan.
Selamatkan psikis dan fisik anak
Di satu sisi, anak dihadapkan pada ancaman penurunan prestasi hingga kesehatan mental psikis karena PJJ berkepanjangan. Maka, anak harus segera kembali ke sekolah agar bisa kembali bersosialisasi dan belajar dalam suasana yang lebih interaktif.
Di sisi lain, pandemi Covid-19 juga masih menjadi ancaman. Dengan begitu, upaya mencegah penularan Covid-19 demi menjaga keselamatan dan kesehatan anak tetap menjadi hal utama. Maka titik inilah, Pembelajaran Tatap Muka Terbatas dengan disiplin protokol kesehatan menjadi jalan tengah terbaik demi menyelamatkan anak. Baik menyelamatkan secara psikis maupun fisik.
Sekarang, yang terpenting adalah bagaimana penerapan PTMT agar bisa berjalan dengan efektif. Bagaimana agar proses pembelajaran berjalan maksimal dan di saat bersamaan tetap menjaga keselamatan dan kesehatan seluruh warga sekolah di tengah pandemi yang belum usai saat ini.
Dalam konteks ini, dibutuhkan kerjasama dan kolaborasi yang baik antara orang tua siswa, guru, hingga kepala sekolah, komite, dan pengawas sekolah. Orang tua penting untuk membantu anaknya agar bisa cepat beradaptasi dengan berbagai kebiasaan baru dalam pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas.
Misalnya, orang tua bisa berinisiatif membuat simulasi PTMT untuk anak di rumah sebagai persiapan bagi anak sebelum mulai masuk menjalani PTMT. Ini menjadi langkah penting, sehingga ketika di sekolah, anak atau siswa sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Hal ini terutama tentang kepatuhan pada disiplin protokol kesehatan.
Di samping itu, guru juga dituntut mampu menghadirkan proses pembelajaran PTMT yang efektif dan maksimal. Kemudian tentu menjadi pendamping dan pembimbing siswa agar selama PTMT bisa benar-benar disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
Tag
Baca Juga
-
Dear Pemerintah, Ini Tips Menyikapi Pengibaran Bendera One Piece
-
Refleksi Hardiknas 2025: Literasi, Integritas, dan Digitalisasi
-
The Nutcracker and The Mouse King: Dongeng Klasik Jerman yang Tak Lekang oleh Waktu
-
Membentuk 'Habit' Anak Indonesia Hebat
-
17 Tahun Itu Bikin Pusing: Inspirasi Menjadi Gen Z Tangguh Pantang Menyerah
Artikel Terkait
Kolom
-
Terperangkap Bayang-Bayang Patriarki, Laki-Laki Cenderung Lambat Dewasa
-
Marissa Anita dan Perfeksionisme: Tak Ada Ruang untuk Setengah-Setengah
-
Drone Dilarang, Tambang Bebas Jalan: Ada Apa dengan Konservasi Kita?
-
Banjir Sumatra dan Mimpi Indonesia Emas: Mau Lari ke Mana Kalau Lantainya Amblas?
-
Kelapa Sawit: Sama-sama Pohon, tapi Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan
Terkini
-
Dari Tinnitus hingga Hiperakusis: Risiko Serius di Balik Kebiasaan Memakai Headphone
-
Hemat Waktu dan Tenaga, Ini 7 Cara Efektif Membersihkan Rumah
-
4 Cleanser Korea dengan Kandungan Yuja untuk Wajah Sehat dan Glowing
-
Menopause Bukan Akhir, tapi Transisi yang Butuh Dukungan
-
Rilis Trailer, Film Alas Roban Kisahkan Teror Mistis di Hutan Angker