Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | al mahfud
ilustrasi digitalisasi pembelajaran (pexels/max fischer)

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap tanggal 2 Mei selalu membuat kita memikirkan kondisi dunia pendidikan di Indonesia. Hingga kini, dunia pendidikan di Tanah Air masih dibelenggu berbagai persoalan seputar kesenjangan sarana prasarana, kurikulum, hingga kompetensi guru.

Kini, di tengah derasnya perkembangan teknologi digital dan media sosial, masalah bertambah berkaitan dengan minimnya literasi dan integritas. Beberapa waktu lalu melihat konten-konten viral di media sosial yang memperlihatkan bagaimana anak-anak SMP masih banyak yang kesulitan menjawab soal-soal Matematika sederhana seperti pembagian dan perkalian.

Kabar terbaru, ditemukan ratusan siswa SMP masih belum bisa membaca dengan lancar di Kabupaten Buleleng. Data dari Plt Kepala Disdikpora Buleleng menyebut, dari 34.062 siswa di daerah tersebut, ada 155 siswa masuk dalam kategori tidak bisa membaca (TBM) dan 208 siswa masuk kategori tidak lancar membaca (TLM). Berbagai faktor penyebab diungkapkan, mulai dari pembelajaran yang tidak tuntas, kurangnya motivasi, disleksia, hingga minimnya dukungan dari keluarga (disdikpora.bulelengkab.go.id. 14/4/2025).

Rendahnya tingkat literasi dasar anak-anak Indonesia memang menjadi persoalan hingga kini. Laporan Programme for International Student Assesment (PISA) 2022 menempatkan siswa Indonesia di kategori tertinggal dibanding negara-negara ASEAN dalam hal literasi dan numerasi. Indonesia bahkan tidak lebih baik dari Vietnam, dan Brunei yang berada di posisi kedua dan ketiga di bawah Singapura yang ada di peringkat pertama di ASEAN.

Kondisi literasi yang rendah masih tersebut diperparah dengan lemahnya integritas dan kejujuran. Data Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang baru saja dirilis KPK pada Kamis (24/4/2025) menunjukkan Indeks Integritas Pendidikan pada 2024 ada di angka 69,50 (level ‘Korektif’). Dalam survei yang melibatkan 449.865 responden di 36.888 satuan pendidikan di 507 kabupaten/kota dari 38 provinsi di Indonesia tersebut terungkap bahwa kasus menyontek masih ditemukan pada 78% sekolah responden dan 98% kampus responden (kpk.go.id, 25/4/2025).

Rendahnya nilai-nilai integritas atau kejujuran di kalangan siswa dan mahasiswa dapat dipengaruhi berbagai faktor. Dari kurangnya efektivitas dalam penanaman nilai-nilai integritas hingga pengaruh lingkungan atau ekosistem pendidikan.

Di saat bersamaan, derasnya arus digital seperti kepopuleran media sosial juga telah memberi dampak serius pada karakter, mentalitas, perilaku remaja atau siswa. Menurut Liu dan Perrewé (2019) media sosial sering kali menyebabkan gangguan dalam aktivitas akademik karena format konten yang cepat dan menghibur. Lebih lanjut, konsumsi konten berbasis visual seperti video dan gambar dapat mengurangi kemampuan konsentrasi dan daya ingat.

Teknologi digital yang berkembang pesat turut berdampak pada munculnya mentalitas instan serta terkikisnya nilai-nilai kejujuran atau integritas di kalangan siswa. Menurut McCabe D. L. (1999), teknologi yang semakin maju semakin memudahkan para pelajar untuk menyontek, terlebih jika sang guru tak mengenal teknologi.

Di sini terlihat pentingnya penanaman nilai-nilai integritas dan literasi di era digital, baik di kalangan siswa maupun pendidik. Kita tak bisa membendung derasnya perkembangan teknologi. Bahkan, sebisa mungkin kita mesti dapat memanfaatkan teknologi digital untuk memudahkan akses pengetahuan, inovasi dan efisiensi pembelajaran, hingga persiapan menghadapi tantangan masa depan.

Kita ingin kemajuan teknologi bisa memberikan kemanfaatan di dunia pendidikan. Membuat generasi muda menjadi kritis, kreatif, dan inovatif. Kita tidak ingin teknologi justru menenggelamkan mereka pada mentalitas instan sehingga terbiasa melakukan kecurangan.

Kemampuan memanfaatkan teknologi dalam konteks pendidikan secara positif hanya dapat dilakukan ketika memiliki landasaan literasi dan integritas yang kuat. Keduanya yang saling berhubungan dan menjadi bekal penting di era digital. Literasi yang luas mendorong orang mengenal nilai-nilai integritas, sehingga menjauhi praktik-praktik kecurangan. Sedangkan integritas yang dipegang erat menjadi pemandu yang mengarahkan orang untuk terus belajar dan memperkaya pengetahuan (literasi).

Digitalisasi pembelajaran

Berkaitan dengan dunia digital dan pendidikan, pada momen Hardiknas 2025 kemarin, pemerintah melalui Kemendikdasmen telah meresmikan Program Hasil Terbaik Cepat, salah satunya adalah program digitalisasi pembelajaran. Langkah konkret digitalisasi tersebut adalah pemasangan smart tv di sekolah-sekolah. Dengan layar ini, diharapkan sekolah-sekolah bisa menerapkan konsep kelas cerdas (smart classroom), sehingga pembelajaran lebih menarik, interaktif, dan menyenangkan.

Pemasangan smart tv ini juga diharapkan dapat membantu sekolah-sekolah di daerah 3T mendapatkan akses pendidikan yang lebih berkualitas. Program dengan total anggaran 2 triliun ini akan mulai direalisasikan untuk 15 ribu satuan pendidikan di tahun ini. Kemudian pada pertengahan tahun 2026 nanti, ditargetkan semua sekolah di seluruh Indonesia sudah mendapatkan layar smart tv tersebut.

Tak semua guru mampu memanfaatkan alat tersebut, sehingga mesti dibekali pelatihan agar dapat memanfaatkannya dengan efektif dan efisien dalam pembelajaran. Oleh karena itu, Kemendikdasmen akan memberikan pelatihan kepada para guru terkait penggunaan smart board dalam pembelajaran.

Kita berharap agar program digitalisasi pembelajaran ini akan berdampak positif untuk meningkatkan hasil belajar dan kemampuan siswa Indonesia. Seperti telah diuraikan sebelumnya, kita juga ingin di saat bersamaan juga terus dibangun kemampuan dasar literasi serta dikuatkan nilai-nilai integritas di kalangan siswa dan di lingkungan pendidikan secara keseluruhan. Kita ingin agar di tengah pesatnya teknologi digital ini, siswa Indonesia tumbuh menjadi generasi yang bisa memanfaatkan teknologi secara cerdas, bertanggung jawab, dan bijak.

al mahfud