Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Supriyadi Bas
Angon (Facebook/Gallery Punakawan Art)

“Kalian satu darah, kalian berada dalam lingkaran dan ikatan trah, saling ingat, rukun, dan saling jagalah,persaudaraan akan terus mengikat meskipun jarak memisah, aliran darah kalian akan senantiasa tercurah, tercurah dalam bingkai anak-cucu-buyut-canggah, teruslah bergandengan tanpa melepaskan, ingatlah!”

Sepenggal pengalaman kembali teringat ketika saya lewat di sebuah jembatan sebuah kali, Kali Tempur namanya. Kali yang mempertemukan dua aliran sungai menjadi satu tersebut masih sama bentuknya. Di sebelah kiri, rerimbunan pohon bambu masih mengiringi sepanjang pinggiran kali, di sela-selanya terdapat tumpukan pasir. Memang, kali ini digunakan untuk menambang pasir dari Gunung Merapi.

Di antara tumpukan pasir, terdapat celah jalan setapak yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk beraktifitas di kali. Sebelah kanan, lontaran sawah memanjang dan melebar sepenuhnya. Terdapat makam desa di antara sawah itu. “Dahulu, simbahku pernah memandikan kami (anak-cucu-buyut) di kali ini. Masuk dari jalan setapak sebelah kiriku, dan keluar dari jalan setapak sebelah kananku,” ingatku.

Ingatan pengalaman ini menjadi barang pasti tidak akan terulang kembali. Bahkan terulang, melihatnya di zaman ini saja akan menjadi sulit. Tradisi yang ada di Klaten ini dinamakan tradisi Mbebekki. Tradisi ini mungkin sudah tidak akrab lagi terdengar di telinga manusia generasi saat ini. Pasalnya, berbagai faktor membuat tradisi yang berfilosofi dalam ini usang. Saya berkeliling di berbagai daerah di Klaten untuk mengonfirmasi eksistensi dari tradisi ini. Namun sayangnya, tidak didapati lagi. Tradisi ini hanya tinggal cerita, mungkin akan lebih usang lagi cerita mengenai tradisi Mbebekki ini jika tidak dituliskan. 

Tradisi Mbebekki

Ketika mendengar kata mbebekki, mungkin pikiran akan mengarah pada kata bebek. Seekor hewan yang suka berenang di kali ataupun kolam. Ya, memang secara etimologis tradisi Mbebekki merujuk pada perilaku bebek yang berenang di kali. Namun, yang berenang bukanlah bebek, melainkan manusia.

Dalam tradisi ini, terdapat seorang penggembala, yakni orang yang paling tua dalam sebuah trah keluarga. Ia menggembalakan anak-cucu-buyut-canggah yang ia miliki. Perlakuan yang diberikan semacam menggembalakan kelompok bebek. Di beberapa tempat sering disebut "angon putu".

Dimulai dari rumah sang penggembala, ia mengarahkan bebek (anak-cucu-buyut-canggah) untuk ke kali. Sesampainya di kali, ia membiarkan semuanya berenang, mandi, atau beraktivitas di kali sesuai tingkah yang dikehendakki. Seusai itu, sang penggembala mengarahkan naik untuk saling berurutan dari yang paling tua dan kemudian ber-salaman (berjabat tangan) dengan sang penggembala. Rentetan salaman selesai, sang penggembala mengarahkan untuk kembali ke rumah dan memberikan uang fitrah kepada keseluruhan bebek-bebeknya.

Makna

Manusia zaman dulu, secara parsial memang memiliki umur panjang. Kepanjangumuran ini membuat mereka (generasi pertama) dapat menyaksikan keturunan-keturunannya, mulai dari anak (generasi kedua), cucu (generasi ketiga), buyut (generasi keempat), canggah (generasi ke lima), dan seterusnya. Di samping itu, nilai mengenai “banyak anak banyak rezeki” dipegang secara penuh oleh manusia zaman dahulu. Hal ini membuat mereka memiliki banyak keturunan yang dapat disaksikan keberadaannya.

Banyaknya keturunan ini tidak hanya menimbulkan kesenangan, tapi juga kekhawatiran. Salah satu kekhawatiran tersebut adalah tidak rukunnya keturunan mereka. Kemudian, adanya kekhawatiran akan terputusnya ikatan saudara satu trah yang tersemat karena banyaknya saudara yang hadir. Di luar itu, ada berbagai kekhawatiran yang lain. 

Tradisi Mbebekki hadir sebagai cawan lebur atas kekhawatiran tersebut. Tradisi Mbebekki menjadi wujud upaya preventif akan kekhawatiran tersebut. Wadah untuk mempersatukan banyaknya saudara yang ada. Tak kalah penting lagi, menjadi wahana pangeling-eling antar saudara. Dengan adanya tradisi ini, harapan yang disematkan agar antar saudara senantiasa rukun, tidak saling melupakan, dan selalu merangkul satu dan satunya.

Dalam beberapa wawancara yang didapatkan (secara parsial narasumber), tradisi ini hadir atas adaptasi dari perilaku bebek. Ketika berenang dan mencari makan, mereka akur dan tidak saling rebut meskipun dalam satu wilayah. Ketika salah satu hilang/tersesat, bebek akan bersuara dengan lebih keras, berharap kepada sang penggembala untuk mencari dan menjemputnya. Kemudian, keseluruhan bebek berada dalam satu pangkuan tangan, yakni sang penggembala (dalam hal ini berarti orang yang paling tua dalam trah tersebut). Adaptasi ini menjadi krusial ketika makna dari tradisi ini ditangkap. Faktanya, tradisi ini telah menemani kehidupan manusia pada eranya.

Usang

Kini, tradisi Mbebekki tak tampak lagi keberadaannya di daerah Klaten. Meskipun terkandung makna yang penting di dalamnya, tetapi kiwari dirasa tidak aktual lagi. Berbagai faktor penyebab usangnya tradisi ini, mulai dari berkurangnya manusia yang mengemban umur panjang, yang mampu menyaksikan keturunan-keturunan hingga keturunan ke 4 ataupun 5 dan seterusnya.

Kemudian, melunturnya nilai “banyak anak banyak rezeki”. Saat ini, mempunyai banyak anak mungkin masih dilakukan oleh sebagian orang. Namun, kebanyakan orang tidak lagi menggunakan nilai itu. Tentu, berbagai perhitungan dan kalkulasi amat digunakan saat ini. Pasalnya, dahulu biaya kehidupan tidak sesulit sekarang. Batasan-batasan mempunyai anak tidak dicanangkan seperti saat ini. Sekolah belum menjadi hal penting seperti saat ini, dan perhitungan-perhitungan yang lain. Sehingga, untuk memiliki banyak anak seperti dahulu (ada yang hingga 10 anak) akan diperhitungkan kembali.

Hilangnya subyek dalam tradisi Mbebekki ini saja sudah barang tentu menjadi faktor krusial di samping faktor lainnya. Akan menjadi sebuah kewajaran ketika tradisi ini kian ditinggalkan. Keaktualannya pun menurun dari zaman ke zaman. Pantas saja, saat ini yang didapatkan hanya cerita-ceritanya.

Meskipun hanya kenangan yang tertinggalkan dari adanya tradisi Mbebeki, tetapi masih ada yang ditinggalkan dan mampu dijadikan pembelajaran, yakni spirit. Spirit yang ada dalam tradisi ini patut untuk dicerna dan dinunaikan. Dengan banyaknya jumlah anak-cucu-buyut-canggah-dan seterusnya, tentu sulit untuk mengaturnya. Namun, bertahannya tradisi ini tentu memberikan tanda bahwa upaya menjaga kerukunan antar saudara dapat terjalin.

Ironi dengan kebanyakan kasus saat ini, banyak kasus-kasus mengenai ketidakrukunan antar personal dalam trah keluarga, terlupakannya saudara yang berada dalam lingkaran trah. Spirit yang terkandung dalam tradisi Mbebekki menjadi secercah pengetahuan untuk wahana pangeling-eling mengenai menjaga kerukunan. Ketika spirit ini dicerna dan dinunaikan, upaya menjaga kehidupan bersaudara tentu dapat diraih. Tidak hanya dalam ikatan trah keluarga, namun juga dapat disalurkan ke ikatan dan lingkaran yang lebih luas lagi. Amin!

Supriyadi Bas