Akibat dampak anomali cuaca dan pandemi Covid-19, harga pangan meningkat tajam. Kebijakan (UU Nomor 18 Tahun 2012) tentang pangan menginformasikan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional.
Indonesia merupakan daerah yang rawan terhadap bencana. Lebih dari 220 juta jiwa dan kondisi geografis yang sangat rawan bencana dimana sebagian wilayah Indonesia berada dalam Cicin Api Pasifik (Ring of fire) yaitu suatu wilayah atau daerah yang mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan samudera pasifik.
Dalam keadaan darurat, ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan gizi masyarakat terdampak bencana menjadi sangat penting. Dalam keadaan demikian, keberadaan pangan darurat bencana menjadi suatu keniscayaan. Menururt US Agency of International Development (USAID), pangan darurat atau emergency food harus memiliki sifat aman dikonsumsi, palatable, mudah didistribusikan, mudah dikonsumsi, dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup (2100 Kkal).
Di sisi lain dari tahun 2020 hingga 2022 saat ini, nanoteknologi semakin dianggap sebagai teknologi menarik yang telah merevolusi sektor pangan. Teknologi pada skala nanometer yang membahas hingga dalam satuan atom, molekul, atau makromolekul dengan ukuran sekitar 1-100 nm untuk membuat dan menggunakan bahan yang memiliki sifat baru.
Nanoteknologi telah membawa revolusi industri baru dan baik negara maju maupun berkembang tertarik untuk berinvestasi lebih banyak dalam teknologi ini. Oleh karena itu, nanoteknologi menawarkan berbagai peluang untuk pengembangan dan penerapan struktur, material, atau sistem dengan sifat baru di berbagai bidang seperti pertanian, makanan, obat-obatan, dan lain-lain.
Meningkatnya kekhawatiran konsumen tentang kualitas dan makanan serta manfaat kesehatan mendorong para peneliti untuk menemukan cara tepat yang dapat meningkatkan kualitas dan keamanan makanan tanpa mengganggu nilai gizi produk.
Beredarnya makanan dengan tampilan yang unik, kualitas rasa, harga yang bersaing, dan umur simpan yang panjang menjadi daya tarik produk pangan saat ini. Salah satunya produk kue kering (biskuit) yang menawarkan beberapa manfaat bagi konsumen, seperti biskuit dari gandum kaya vitamin B12 untuk makanan diet sehat. Namun berbeda dengan suplemen dari jenis ubi-ubian di Indonesia.
Berbeda dengan bahan makanan pada umumnya, suplemen ini dibuat dari bahan-bahan lokal di Indonesia yang saat ini mulai ditinggalkan seperti ubi garut, ubi jalar, gembili, dan bengkuang. Bahan-bahan tersebut mengandung inulin, Frukto Oligo Sakarida (FOS), serat larut dan tak larut, dan pati tak tercerna yang berpotensi digunakan sebagai komponen prebiotik.
Inulin yang merupakan salah satu kandungan terbesar senyawa dalam ubi-ubian tersebut adalah jenis serat larut dalam air sekaligus fruktan (rantai molekul fruktosa (gula) yang berikatan bersama sehingga tidak dapat dipecah oleh usus halus namun dapat difermentasi oleh bakteri usus besar).
Sebagai salah satu jenis serat, inulin menawarkan berbagai manfaat bagi tubuh, termasuk untuk memenuhi kebutuhan gizi, sistem pencernaan, dan kesehatan jantung. Inulin yang dapat difermentasi oleh bakteri di usus besar dianggap sebagai jenis prebiotik.
Bakteri di usus dapat mengubah inulin dan prebiotik lainnya menjadi asam lemak rantai pendek. Asam lemak rantai pendek dapat menutrisi sel di usus besar dan menawarkan beragam manfaat kesehatan. Inulin yang merupakan jenis serat yang larut dalam air dapat larut dalam lambung dan berubah bentuk menjadi senyawa seperti jelly. Senyawa ini membantu memperlambat pencernaan, memberi sensasi rasa kenyang, dan mengurangi penyerapan kolesterol.
Pengolahan secara nanoteknologi mengesktrak ubi-ubian tersebut dalam bentuk serbuk yang dijadikan sebagai suplemen makanan, sehingga dalam hal ini dapat meningkatkan masa simpan dan stabilitas produk tersebut. Produk nanoteknologi dalam bentuk suplemen memiliki nilai efisiensi dan efektifitas lebih tinggi karena selain dapat memenuhi kebutuhan gizi, serat pangan pencernaan, baik untuk kesehatan juga mudah didistribusikan, memiliki nilai nutrisi yang tidak mudah rusak (dapat di pertahankan) dalam lingkungan posko pengaman karena suhu dan faktor lingkungan tidak menentu sehingga dapat digunakan sebagai solusi ketahanan pangan untuk masyarakat terdampak bencana.
Baca Juga
-
Kenali HVP pada Kaldu Jamur, Penyedap Rasa Pengganti MSG
-
Biji Kopi Buatan, Hasil Menumbuhkan Biji Kopi dari Bioreaktor Laboratorium
-
Teknologi Pangan 3D Food Printing, Cara Baru Hadirkan Makanan di Masa Depan
-
My Lil Metaverse, Catatan Kecil dan Surat Cinta untuk 8th Suara
-
Clear Coffee, Kopi Bening Alternatif Tanpa Meninggalkan Plak Kuning pada Gigi
Artikel Terkait
-
Sebut WHO Siapkan Pandemi Baru Pakai Senjata Biologis, Epidemiolog UI Skakmat Dharma Pongrekun: Gak Pantas jadi Cagub!
-
Sebut WHO Rancang Pandemi Baru, Epidemiolog UI Tepis Ucapan Dharma Pongrekun: Itu Omong Kosong
-
Negara Kaya Wajib Bantu Negara Berkembang? Ini Tuntutan AHF di WHO Pandemic Agreement
-
Kartu Prakerja Catat Prestasi Signifikan Hingga Dapat Puja-puji Dunia
-
Dharma Pongrekun Sebut Penyebab Tanah Abang Sepi Akibat Pandemi Covid-19
Kolom
-
Trend Lagu Viral, Bagaimana Gen Z Memengaruhi Industri Musik Kian Populer?
-
Usai Kemenangan Telak di Pilpres AS, Apa yang Diharapkan Pendukung Donald Trump?
-
Standar Nikah Muda dan Mengapa Angka Perceraian Semakin Tinggi?
-
Indonesia vs Arab Saudi: Mencoba Memahami Makna di Balik Selebrasi Seorang Marselino Ferdinan
-
Matematika Dasar yang Terabaikan: Mengapa Banyak Anak SMA Gagap Menghitung?
Terkini
-
Strategi Mengelola Waktu Bermain Gadget Anak sebagai Kunci Kesehatan Mental
-
Cetak 2 Gol, Bukti "Anak Emas" Tak Sekadar Julukan bagi Marselino Ferdinan
-
Nissa Sabyan dan Ayus Resmi Menikah Sejak Juli 2024, Mahar Emas 3 Gram dan Uang 200 Ribu
-
Ulasan Buku Sabar, Syukur, dan Ikhlas: Kunci Sukses Bahagia Dunia Akhirat
-
Spoiler! Hunter X Hunter Chapter 403: Balsamilco vs Pangeran Halkenburg