Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Sam Edy Yuswanto
Buku 'Hijab'. (Dok. Pribadi/samedy)

          Bicara tentang hijab atau jilbab, Nurul Ulya-Muhammad Syamsudin (NU Online, 1/1/2019) menjelaskan bahwa pada dasarnya, dalil asal diperintahkannya berhijab bagi kalangan perempuan adalah berdasarkan firman Allah Swt. yang terdapat di dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab 59. Inti kandungan ayat tersebut adalah menjelaskan bahwa tujuan Allah Swt. memerintahkan perempuan berhijab ada dua, yakni:

          Pertama, supaya kaum perempuan mukminat lebih bisa dikenali dan menjadi faktor pembeda dari perempuan tidak beriman. Kedua, lebih terjaga muru’ah atau kewibawaan karakter dan watak keperempuanannya, sebagaimana digambarkan dalam ayat di atas sebagai tidak disakiti/gangguan. 

          Namun, realitas memaparkan, berjilbab bagi sebagian perempuan terasa sulit. Mereka merasa belum siap. Dalam buku Hijab, for Brain, Beauty, ‘n Behavior karya Yani Nuri Triyana dijelaskan salah satu alasannya, yakni menata hati terlebih dahulu. “Nanti kalau akau udah menata hati dengan baik, pasti aku berjilbab”.

          Sebenarnya prinsip mau menata hati dulu, baru kemudian berjilbab, itu sudah pernah disinggung oleh Rasulullah Saw. Beliau bersabda, “Aku hanya menghukumi yang zahir, dan sesungguhnya Allah Swt. menghukumi yang batin”. Artinya, jilbab adalah urusan yang zahir (tampak) di mana kewajiban menutup aurat ini sudah jelas (Hijab, for Brain, Beauty, ‘n Behavior, halaman 171).

         Yani Nuri Triyana menguraikan, memakai jilbab adalah urusan yang zahir, sementara masalah menata hati adalah urusanmu dengan Allah. Karena urusan hati sangat individual. Bisa jadi yang menurutmu baik, padahal menurut Allah nggak. Karena itu, nggak elok rasanya kalau kamu menyalahkan jilbab. Ketika kamu melihat seorang cewek yang berjilbab tapi ternyata tak menghijabi perilakunya. Misalnya kamu bilang dalam hati: berjilbab kok pacaran, berjilbab kok merokok, berjilbab kok mulutnya kotor, berjilab kok kelakuannya kayak setan, berjilbab kok ngomongnya masih kasar dan sembarangan.

           Kita tentu tak boleh menghakimi seperti itu. Memang, dengan mengenakan jilbab sepatutnya juga seiring dengan perilaku terpuji. Tapi, jangan salahkan jilbab atau membuat kita enggan mengenakan jilbab lantaran menemukan orang seperti itu. Penting diketahui bahwa jilbab bukanlah pernyataan “aku sudah baik” atau “aku nggak berdosa”. Tapi sederhananya, kalau kita mau menyatakan, jilbab adalah “aku ingin taat”. Karena itu, muslimah yang mengenakan jilbab bukanlah malaikat—yang nggak diberikan kesempatan oleh Allah untuk maksiat. Malahan sebaliknya, jilbab adalah sebuah upaya kita untuk menjauhi maskiat. Jilbab memberikan alarm yang mengingatkan kita untuk senantiasa menjauhi dosa atau maksiat (Hijab, for Brain, Beauty, ‘n Behavior, halaman 173-174).

           Semoga kehadiran buku Hijab, for Brain, Beauty, ‘n Behavior karya Yani Nuri Triyana ini dapat membawa pencerahan bagi kaum peremepuan muslimah. Semoga ulasan ini bermanfaat.

***

Sam Edy Yuswanto