“Anak-anak zaman sekarang itu hidupnya nggak ada pantangan, nggak kenal pamali.” Begitulah keresahan yang saya dengar dari seorang paruh baya. Beliau menyoroti budaya pamali yang mulai terlupakan, bahkan sebagian generasi muda masa kini mungkin sudah tidak meyakini atau mengenalnya lagi.
Merujuk pada KBBI, pamali berarti tabu, pantangan, atau larangan. Dalam masyarakat Sunda, pamali adalah hal tabu yang tidak boleh dilanggar. Budaya ini pun dikenal di daerah-daerah lain di Indonesia dengan istilah yang berbeda.
Budaya pamali menunjukkan bahwa perbuatan atau perkataan akan mendatangkan suatu konsekuensi, yakni jika seseorang melakukan atau mengatakan hal yang tabu, maka akan menimbulkan akibat buruk. Walau tak sedikit yang masih mempertahankannya, budaya pamali mulai luntur dan banyak ditinggalkan, terutama oleh generasi masa kini.
Di satu sisi, banyak generasi muda yang mulai tidak lagi mengenal budaya pamali karena budaya ini biasanya terkait erat dengan mitos-mitos yang diyakini oleh masyarakat. Tentunya, perkembangan zaman dan berbagai bidang ilmu pengetahuan, serta kemajuan teknologi, seiring pula anggapan bahwa budaya pamali ini banyak yang sudah tidak sesuai lagi dengan keyakinan yang dianut dan kehidupan masa kini, budaya pamali ini mengalami banyak perubahan dan penyesuaian, atau bahkan sama sekali hilang dari masyarakat.
Di sisi lain, jika kita bersedia untuk menanggalkan sejenak mitos-mitos yang menyertainya, budaya pamali sebetulnya mencerminkan kehati-hatian dalam tutur dan tindak. Budaya ini berperan dalam membentuk masyarakat dengan kesadaran budi pekerti yang tinggi. Jika kita melihat kembali ke belakang, kehidupan bermasyarakat di zaman dahulu begitu harmonis, tenang, dan teratur. Hal ini tentu tidak terlepas dari peran budaya pamali yang mengatur sekecil apa pun tindakan dan ucapan, serta menjaga nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat.
Selain sebagai salah satu adat dan tradisi, tak dapat dipungkiri bahwa budaya pamali telah turut serta mengarahkan masyarakat agar tetap berada pada koridor-koridor norma dan nilai-nilai kesantunan, serta menuntun masyarakat untuk bijak dalam setiap perbuatan dan perkataan.
Baca Juga
-
Wajib Tahu! Ini 3 Alasan Pentingnya Riset bagi Penulis
-
Selamat! Go Ayano dan Yui Sakuma Umumkan Pernikahan Mereka
-
Selamat! Keita Machida Resmi Menikah dengan Aktris Korea-Jepang Hyunri
-
4 Manfaat Membuat Kerangka Karangan dalam Kegiatan Menulis
-
NiziU Nyanyikan Lagu Tema Film Animasi 'Doraemon: Nobita's Sky Utopia'
Artikel Terkait
-
Sunda Wiwitan Menyembah Apa? Keunikan Warisan Leluhur yang Tetap Hidup di Tanah Sunda!
-
Menakar Pilkada dalam Pembentukan Narasi Budaya Lokal, Seberapa Penting?
-
Hari Ini Malam Jumat Apa? Hati-hati, Jauhi Pantangan Ini!
-
Mengenal Pafi Sukamara: Warisan Budaya yang Menginspirasi Generasi Muda
-
Mengenal 3 Bahan Tekstil Kain Batik
Kolom
-
Quick Count vs Hasil Resmi Pemilu: Akurasi atau Sekadar Kontroversi?
-
Politik Uang di Pilkada: Mengapa Masyarakat Terus Terpengaruh?
-
Membangun Sikap Kritis dalam Menangkal Ulasan Palsu di Google Maps
-
Menakar Pilkada dalam Pembentukan Narasi Budaya Lokal, Seberapa Penting?
-
Menggali Xenoglosofilia: Apa yang Membuat Kita Tertarik pada Bahasa Asing?
Terkini
-
3 Varian Serum dari COSRX Ampuh Kecilkan Pori-Pori dan Hidrasi Kulit Kering
-
Rasanya Istimewa, Sensasi Kuliner di Kedai Nasi Nikmat Kota Jambi
-
Eks-Kapten Timnas U-19 Akui Sulit Ikuti Porsi Latihan Bersama STY, Mengapa?
-
Review Buku Sebuah Kota yang Menculik Kita, Fenomena Sosial dalam Bingkai Puisi
-
Wealth Building Masterclass: Membangun Kekayaan dan Meraih Kebebasan Finansial Lewat Saham di Tahun 2025