Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Nurita Komara
Ilustrasi Perempuan. (unsplash.com)

Dewasa ini, memiliki pemikiran yang berbeda dengan orang lain maka dianggap keluar jalur, terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan dan berstatus gender perempuan. Alih-alih mendapat tempat, perempuan yang memiliki ragam pikiran kritis justru dianggap tabu, seolah hal paling dilarang. Di mana sistem patriarki masih terlalu kuat dan sepertinya masih akan berlanjut hingga ke generasi berikutnya. Berbeda dengan masyarakat kota yang cenderung sudah mulai meninggalkan sistem sosial ini.

Mulai meninggalkan bukan berarti tidak ada, represi terhadap hak-hak perempuan masih sangat langgeng. Sebab, selagi patriarki dan misogini masih bergentayangan di dunia, maka di situ pula hak-hak perempuan direpresi habis-habisan menggunakan cara apa pun.

Menyikapi pandangan sebuah sistem yang mengikat perempuan ini, kita bicara mengenai kebebasan dalam menentukan jalan hidup. Partriaki sendiri adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam berbagai bidang, seperti kepemimpinan politik, hak sosial, otoritas moral, dan penguasaan properti. 

Poin yang akan dibahas dalam artikel ini adalah menyoroti hak perempuan dalam menentukan kapan dia akan menikah, haruskah dia untuk menikah, dan mengapa stigma usia 25 tahun ke atas belum menikah dianggap sebagai perawan tua. 

Peran orang tua memang amatlah penting, namun bukan berarti orang tua bisa mengatur semua jalan hidup anak perempuannya. Semua orang punya hak atas dirinya sendiri, hak untuk memutuskan sebuah perkara, hak untuk menolak, dan hak untuk menerima. 

Hidup di pedesaan dengan usia yang tak lagi remaja bukan perkara yang mudah, di mana sistem sosial yang telah mengakar mengharuskan kami para perempuan yang sudah cukup usia untuk menikah harus segera menikah. Dan jika usia rata-rata masih belum menikah maka akan dicap sebagai perawan tua. Bahkan tak jarang ada yang dikucilkan, dan dianggap sebagai perempuan tidak normal. 

Sungguh stigma yang sangat buruk, bukan? 

Namun itulah faktanya, mereka hanya tidak tahu saja jika ada perempuan yang sedang berusaha keras untuk mengejar karir impiannya, berusaha keras untuk mengejar pendidikan, dan berusaha untuk mandiri dalam finansial. Dan mungkin juga ada yang sedang mempersiapkan mental yang cukup karena pernikahan itu bukan sesuatu yang sepele.  

Dunia terlalu sempit jika hanya berada di satu tempat yang tidak bisa membuat kita sebagai perempuan untuk berkembang. Banyak hal di luar sana yang harus dipelajari, banyak tempat yang harus dijelajahi, banyak orang yang harus ditemui untuk saling bertukar pikiran. Serta mencoba hal-hal baru yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Menjadi perempuan dengan wawasan yang sangat luas adalah harus dan bagian dari hak asasi setiap manusia, termasuk perempuan. 

Namun, dalam kasus ini mengapa hanya perempuan saja yang selalu dipermasalahkan, dan jika yang mengalami hal ini adalah laki-laki maka dianggap wajar dan cenderung tidak permasalahkan. Bukankah baik perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama?

Itulah pentingnya pendidikan bagi perempuan, dengan bekal ilmu yang cukup, wawasan yang luas, mampu mengajarkan kepada keturunanya kelak untuk tidak mewariskan sistem sosial tersebut. Mulailah dari diri sendiri, sedikit demi sedikit, maka kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam kasus ini akan perlahan berkurang. 

Dengan adanya emansipasi wanita, perempuan berhak mendapat kesetaraan hak di segala bidang kehidupan apa pun, hak istimewa terhadap laki-laki haruslah dihapuskan karena secara tidak langsung merugikan perempuan dan tentu menjadi konflik struktural yang begitu panjang akarnya. 

Poin yang paling penting adalah jangan menikah hanya karena dipaksa oleh sistem, menikahlah karena memang ingin menikah, dan tentunya menikah di waktu yang tepat menurutmu. Karena, tak jarang banyak yang pernikahannya gagal hanya karena belum siap mental dan minim pengetahuan seputar pernikahan. 

Terkait dengan penilaian orang lain atau masyarakat sekitar, agaknya kita yang punya cukup pengetahuan harus bisa memberi edukasi bahwa kasus tersebut bukanlah sesuatu yang fatal, yang menyangkut hidup matinya seseorang. 

Nurita Komara