Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Menulis Itu
Ilustrasi mengobrol. (pexels.com/RODNAE Productions)

“Jeng, pinjami aku 300 ribu lah. Skin care ku habis nih. Besok kalo BLT cair aku kembaliin uangnya.”

“Waduh, aku juga lagi pusing, jeng. Aku belum lunas bayar seragam sekolah anakku. Mana bulan depan dia ulang tahun lagi.”

Kuhisap rokokku dalam-dalam sambil sesekali menyeruput kopi di depanku. Aku dengarkan pembicaraan dua ibu-ibu tetangga di warung sebelah rumah sambil tersenyum dalam hati.

Sepertinya sudah jamak fenomena ini terjadi di berbagai tempat. Semakin banyak penyelewengan penggunaan dana bantuan dari pemerintah oleh warga masyarakat penerimanya.

Dana yang seharusnya dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan pokok keluarga malah digunakan untuk pemenuhan keinginan semata.  Alih-alih dipakai untuk membeli beras, minyak atau telur, uang itu malah menjelma jadi produk perawatan wajah, ponsel atau baju baru.

Sejauh pengamatan saya atas tetangga dan teman-teman di dunia nyata maupun media sosial, sebagian penerima bantuan seperti ibu-ibu di awal cerita tampaknya lebih memilih memenuhi ego mereka sendiri agar status sosial mereka terlihat sejajar dengan anggota lain di dalam kelompoknya.

Tekanan secara langsung maupun tidak langsung dari circle atau lingkungan pergaulan membuat mereka memberikan prioritas kepada penampilan fisik atau apa yang tampak dari luar meskipun seringkali harus memaksakan diri termasuk dengan menyelewengkan  penggunaan dana BLT bahkan berhutang untuk mendukung aktivitas tidak produktif seperti nongkrong di cafe dan lain sebagainya.

Ada seorang tetangga yang terlibat pinjaman online sampai puluhan juta dan sekarang terlihat ketakutan karena dikejar-kejar dan diteror melalui telepon oleh debt collector. Hubungan dengan suaminya yang tinggal di luar kota pun memburuk karena ternyata awalnya sang suami tidak mengetahui istrinya anggota tetap BPJS. Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita.

Bagi yang tidak mengenalnya secara dekat dan hanya mengetahuinya melalui media sosial mungkin akan berpikir bahwa dia adalah orang yang berkecukupan atau bahkan mempunyai harta berlebih. Foto-foto yang diupload ke media sosial seperti facebook sering memperlihatkan kegiatannya sehari-hari.

Di satu waktu dia mengunggah gambar-gambar dia dan teman-temannya membagikan nasi bungkus di sudut kota. Di saat lain sering dia terlihat sedang menikmati makan bersama dengan kelompoknya di berbagai resto atau sedang melakukan perawatan tubuh di sebuah beauty center. Ulang tahun anaknya juga biasanya dirayakan di salah satu cafe ternama di wilayah kami. 

Seorang teman wanita saya juga mempunyai problem yang sama. Kegemarannya berolah raga sepeda membawanya mengenal teman-teman komunitas yang kebetulan beberapa anggotanya merupakan orang-orang berada di kota kami. Dari hobi gowesnya dia jadi mengenal beberapa orang yang mengajaknya masuk kelompok arisan dan mengikuti kegiatan yang akhirnya membuatnya terlibat hutang sana-sini. 

Status sosial rupanya memang menjadi bumerang atau beban tersendiri bagi banyak orang. Saya yakin ada banyak kemiripan cerita seperti di atas di berbagai wilayah dengan kompleksitas masing-masing. Tekanan lingkungan dan kebutuhan untuk dihargai membuat sebagian dari kita memilih untuk membuat pencitraan melebihi kemampuan finansial. Dan jalan terpendek mencapai hal itu adalah berhutang.

Entah bagaimana menyelesaikan persoalan ini. Tontonan sinetron, masifnya pemberitaan gaya hidup selebritas dan pejabat di negara ini sepertinya justru menyiramkan bara api di kepala mereka. Mungkin sudah saatnya pemerintah memberikan bantuan lain: Be Es Ce… Bantuan Skin Care. Bagaimana, ibu-ibu? Ahh kompak sekali jawabnya.

Menulis Itu