Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Agus Siswanto
Ilustrasi Siaran TV Digital [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]

Membicarakan ulah sebagian masyarakat terkadang membuat kita tersenyum geli. Ada-ada saja cara mereka mengolah atau memelintir sebuah peristiwa ke arah yang tidak pernah kita duga sama sekali. Tak jarang pula pelintiran mereka memasuki ranah politik dengan menyerang salah satu pihak.

Kali ini terjadi dengan perubahan TV analog menjadi TV digital yang saat ini mulai berjalan. Perpindahan sistem ini, mengharuskan seseorang yang masih ingin menikmati siaran televisi untuk membeli sebuah perangkat yang dinamakan Set Top Box (STB). Di beberapa grup WA, muncul ajakan untuk tidak mengikuti himbauan pemerintah ini. Mereka mengajak masyarakat membiarkan televisi itu mati karena perubahan ini.

Salah satu alasan yang dikemukakan adalah terkait isi siaran televisi yang lebih banyak pada kemaksiatan. Ujung-ujungnya merusak moral generasi muda. Alasan yang lain adalah televisi lebih banyak menyiarkan berita bohong dibandingkan informasi yang benar. Dengan dua alasan ini, maka membiarkan siaran televisi itu mati adalah langkah terbaik. 

Sampai di sini, sah-sah saja. Karena jika memang itu yang terjadi, tidak ada salahnya. Namun ketika perubahan ini dikaitkan dengan penggalangan dana untuk Pilpres 2024, kita pun mengernyitkan dahi. Muncul pertanyaan besar, di mana kaitan antara penjualan Set Top Box (STB) dengan penggalangan dana untuk Pilpres 2024.

Pertanyaan pertama, apakah lalu uang hasil penjualan alat tersebut disetorkan pada nomor rekening tertentu? Pertanyaan kedua, lalu pihak mana yang dianggap sebagai penampung dana tersebut? Apakah pihak penampung tersebut merupakan tim sukses salah satu capres yang akan berlaga di Pilpres 2024 nanti?

Nah, di sinilah letak “keahlian” pembuat narasi ini. Tanpa menggunakan logika, dibuatnya pesan tersebut lalu disebarkan melalui media sosial. Dalam waktu tidak begitu lama, pesan tersebut mengalir liar di pelosok negeri ini.

Bagi kalangan terdidik, menganggap pesan ini sebagai lelucon yang tidak lucu. Mereka tidak menanggapinya. Hal ini disebabkan tingkat literasi mereka sudah cukup tinggi, mereka mampu menggunakan logika untuk menyerap sebuah informasi.

Namun sebagian masyarakat mempercayai pesan ini. Apalagi jika si penerima pesan mempunyai dendam politik terhadap salah satu pihak atau calon yang akan bertempur pada Pilpres 2024.

Narasi yang sebenarnya tidak masuk akal itu, bertemu dengan tingkat literasi yang rendah menjadi ramuan sempurna untuk membenarkan apa yang muncul di sosial media tersebut.

Akhirnya narasi liar itu merebak di berbagai wilayah. Perubahan dari TV analog ke TV digital yang merupakan tuntutan zaman, apalagi Indonesia adalah negara terakhir di ASEAN yang beralih ke era digital, justru menjadi bahan amunisi bagi pihak-pihak tertentu.

Tentu saja sebuah kejadian yang menyedihkan. Rendahnya literasi sebagian masyarakat kita, justru dijadikan ladang untuk menyemaikan isu-isu liar dan tidak bertanggung jawab.

Video yang mungkin Anda suka:

Agus Siswanto