Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rizko Hadi
Ilustrasi Polusi Udara (freepik.com/rawpixel.com)

Indonesia dahulu terkenal akan hutan hujan tropisnya. Secara geografis negara ini berada di garis khatulistiwa, menjadikan Indonesia rumah nyaman bagi tumbuh dan berkembangnya berbagai jenis tumbuhan, termasuk pohon-pohon besar. Pohon-pohon ini, dalam bentangan hutan yang luas, menjadi salah satu penghasil oksigen andalan planet bumi.

Tercatat pada tahun 2013, Indonesia merupakan negara dengan peringkat ketiga hutan terluas versi data Forest Watch Indonesia (FWI). Kekayaan bentangan hutan ini memberikan julukan paru-paru dunia dinisbatkan kepada Indonesia.

Merusak paru-paru

Beberapa tahun terakhir sayangnya kabut asap menjadi bencana besar bagi Indonesia. Tahun 2015 dan 2019 merupakan saksi dari problem lingkungan ini. Kabut asap yang merupakan dampak dari kebakaran hutan dan lahan bahkan sampai mempengaruhi negara-negara jiran seperti Malaysia dan Singapura di kala itu.

Tahun 2023 ini, diperparah dengan fenomena el nino, kabut asap dikhawatirkan akan terjadi lebih gawat dibandingkan bencana-bencana kabut asap sebelumnya. Sebagian Sumatera dan Kalimantan telah merasakan muncul kembalinya asap di kota-kota mereka.

Setelah tahun 2020, ketika Covid-19 melanda dan manusia dipaksa untuk menggunakan masker, hari-hari ini masker dianjurkan untuk digunakan kembali demi menjaga kesehatan paru-paru. Sungguh ironis, paru-paru dunia kini penduduknya terancam kerusakan paru-paru.

Mengapa? Dua perilaku abai 

Sudah terlalu banyak orang membicarakan problematika besar yang melingkupi masalah kabut asap ini. Tidak lupa pula beragam solusi diajukan. Sebagian besar menunjuk kepada pembukaan hutan dan lahan untuk pertanian dan pemukiman serta peran regulasi dari pemerintah yang harus dikuatkan untuk mengatasi masalah ini. Meskipun demikian pada tataran akar rumput setidaknya ada dua perilaku yang wajib diwaspadai berkaitan dengan masalah asap dan paru-paru dunia ini.

Perilaku pertama adalah membakar sampah di luar tempat pembuangan sampah (TPS) resmi. Harus diakui masih banyak warga Indonesia yang membakar sampah secara pribadi. Sebetulnya jika ditinjau dari semangat menjaga kebersihan, ini adalah perilaku baik. Namun jika tidak diatur, justru asap pembakaran sampah menjadi polusi yang mengganggu pemukiman.

Sejumlah orang yang alergi terhadap asap bahkan dapat terkena serangan asma. Apalagi jika di sekitar rumah mereka ada warga yang hobi membakar sampah pagi dan sore. Belum lagi jika teledor, api dari pembakaran sampah dapat menjalar ke rerumputan kering sekitar dan memicu kebakaran lahan. Oleh karena itu, seyogyanya pembakaran sampah ini harus diatur di tempat pembuangan sampah (TPS) saja dan warga juga perlu sadar akan resikonya.

Perilaku kedua adalah membuang puntung rokok sembarangan. Kita juga harus mengakui bahwa banyak penduduk Indonesia merupakan ahli hisap. Orang-orang ini bahkan ada yang sudah sampai di level lebih baik tidak makan daripada tidak merokok. Rokok telah menjadi konsumsi kalangan atas dan bawah serta dibawa ke mana saja. Sering puntung rokok dilemparkan begitu saja setelah selesai dinikmati.

Dalam kaitannya dengan masalah kabut asap, yang dikhawatirkan adalah rokok yang dinyalakan dan dibuang di lapangan. Jika tidak hati-hati, bara rokok yang belum padam dapat memicu kebakaran lahan tanpa disadari. Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika disediakan kawasan khusus untuk merokok seperti yang dapat ditemukan di bandara-bandara dan para perokok juga perlu sadar agar hanya merokok di kawasan khusus.

Pemerintah meregulasi, warga berkesadaran

Pada akhirnya, penyelesaian masalah kabut asap di paru-paru dunia ini kembali kepada manusia-manusia penghuni Indonesia. Pemerintah dan para elit silakan dan harus menjalankan peran mereka dalam mengatur dan melaksanakan hukum yang mendukung selesainya kabut asap. Para warga grassroot tetap harus memiliki kesadaran dan membudayakan kebiasaan yang menjaga diri mereka sendiri dan orang lain dari terpicunya kebakaran hutan dan lahan.

Rizko Hadi