Budaya menghina pilihan bacaan orang lain atau yang sering disebut sebagai "book shaming" adalah perilaku yang seharusnya kita tinggalkan di masa lalu.
Setiap orang memiliki selera bacaan yang berbeda, dan seharusnya kita merayakan keragaman ini daripada menghakimi atau merendahkan pilihan bacaan orang lain.
Kita perlu memahami bahwa selera bacaan adalah hal yang sangat subjektif dan pribadi, dan tidak ada buku yang bisa dianggap sebagai bacaan yang lebih baik atau lebih buruk dari yang lain.
Data menunjukkan bahwa budaya book shaming dapat memiliki dampak negatif pada minat baca seseorang.
Menurut survei yang dilakukan oleh American Library Association, sekitar 42% anak dan remaja merasa bahwa mereka lebih suka membaca jika mereka tidak merasa dinilai atau dihakimi atas pilihan bacaan mereka.
Ini menunjukkan bahwa tekanan sosial dan penghinaan terhadap pilihan bacaan dapat menghambat minat baca dan perkembangan literasi pada generasi muda.
Selain itu, kita juga perlu mengingat bahwa membaca adalah cara untuk belajar dan berkembang. Ketika seseorang membaca buku yang sesuai dengan minatnya, proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan menyenangkan.
Oleh karena itu, kita seharusnya mendorong orang untuk membaca apa yang mereka nikmati dan menghormati pilihan bacaan mereka.
Bahkan jika kita memiliki preferensi bacaan yang berbeda, mari kita ingat bahwa literatur adalah dunia yang luas dan penuh dengan keragaman.
Dengan menghormati selera bacaan orang lain, kita memperkaya percakapan, membangun hubungan yang lebih baik, dan mendukung kebebasan individu dalam mengejar minat mereka.
Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital ini, mari kita bersatu untuk menghormati dan merayakan keragaman dalam selera bacaan.
Daripada menghakimi atau menghina orang lain karena apa yang mereka baca, mari kita berusaha menjadi pembaca yang terbuka dan toleran.
Ingatlah bahwa di dunia literatur, ada tempat untuk semua jenis bacaan, dan setiap buku memiliki potensi untuk memberikan wawasan dan pengalaman yang berharga. Itu sebabnya, saatnya kita berhenti book shaming dan mulai menghormati selera bacaan setiap individu.
Baca Juga
-
Kuliah di Luar Negeri Tanpa Ribet Syarat Prestasi? Cek 6 Beasiswa Ini!
-
Jangan Sembarangan! Pikirkan 5 Hal Ini sebelum Pasang Veneer Gigi
-
6 Beasiswa Tanpa Surat Rekomendasi, Studi di Luar Negeri Makin Mudah
-
Belajar dari Banyaknya Perceraian, Ini 6 Fase yang Terjadi pada Pernikahan
-
Tertarik Kuliah di Luar Negeri Tanpa TOEFL/IELTS? Simak 5 Beasiswa Ini!
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku 'I DO', Siapkan Pernikahan dan Putus Rantai Trauma Keluarga
-
Rahasia Kebahagiaan dalam Buku 'Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan'
-
Ulasan Novel The Name of The Game: Membongkar Topeng Toxic Masculinity
-
Jawaban Pertanyaan Hidup di Buku Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Aku Inginkan
-
Keutamaan Membaca Ayat Kursi Sebelum Tidur
Kolom
-
Matematika Dasar yang Terabaikan: Mengapa Banyak Anak SMA Gagap Menghitung?
-
Media Sosial TikTok: Ancaman atau Hiburan bagi Generasi Muda?
-
Viral Lomba Mirip Nicholas Saputra, Kok Bisa Kita Kembar dengan Orang Lain?
-
Mapel Coding dan AI untuk SD, Kebijakan FOMO atau Kebutuhan Pendidikan?
-
Miris! Ribuan Anggota TNI-Polri Terseret Judi Online, Sinyal Pembenahan?
Terkini
-
Review Film The Zen Diary: Pelajaran Hidup Selaras dengan Alam
-
Wow! PSSI Targetkan Timnas Putri Mampu Raih Peringkat ke-3 di AFF Cup 2024
-
Yance Sayuri Berambisi Kejar Rekor Saudaranya di Timnas Indonesia, Mengapa?
-
Review Film X-Men '97, Pertaruhan Nasib Mutan Usai Kepergian Profesor X
-
3 Film Beragam Genre Dibintangi Austin Butler yang Pantang Buat Dilewatkan!