Memasuki musim wisuda, momen perayaannya pun udah mulai keliatan untuk disiapkan sejak dini, mulai dari kostum yang akan dikenakan nanti, hingga urusan buket wisuda yang akan dihadiahkan kepada orang tertentu. Sebenarnya, buket wisuda ini diperuntukan sebagai bentuk penghargaan kepada mahasiswa yang sudah menyelesaikan studinya di kampus, simpelnya buket ini adalah hadiah.
Mulanya, buket wisuda adalah kisaran bunga yang diolah hingga enak dipandang dan wajar diberikan sebagai sebuah hadiah. Namun lambat lain, buket wisuda ini sudah bermetamorfosis. Ada buket bingkisan makanan ringan, bungkusan kopi sachet, buket rokok, hingga buket yang modern dengan deretan selembar uang.
Pada momen wisuda, buket ini seakan menjadi hal wajib diberikan, para wisudawan akan berpose sambil memegang buket hasil pemberian dari seseorang. Kalau nggak ada buket, serasa wisuda itu hampa. Sehingga pemberian buket ini sudah menjadi budaya dalam setiap wisuda yang ada kampus-kampus di Indonesia.
Namun, sebenarnya kalau ditelisik, buket wisuda ini bukan hal wajib dan hanya ajang seremonial saja. Sama seperti wisuda, hanyalah kegiatan seremonial saja, bukan syarat wajib mahasiswa bisa selesai dari kampus. Tapi, karena sudah menjadi budaya, tentu amat sulit kalau nggak dijalani.
Buket wisuda bukan ajang balas budi
Lagi-lagi saya terangkan kalau buket serta adalah sesi seremonial wisuda bukan hal wajib, tapi hanya karena sudah menjadi budaya tentu sulit untuk dihilangkan. Namun yang jadi masalah, kalau buket ini dijadikan sebagai ajang balas budi.
Nggak bisa dipungkiri ketika seseorang memberi buket, suatu saat nanti akan ada sanksi sosial untuk memberikannya juga buket. Hukumnya memang nggak wajib, tapi sanksi sosial itu lho, dan bisa saja menjadi beban moral.
Apalagi sekarang ini, buket wisuda sudah menjadi amat modern. Yang tadinya hanya sekadar bunga, tapi sudah berubah menjadi lembaran-lembaran duit.
Coba deh bayangkan, saat seseorang memberikan buket wisuda yang isinya deretan duit yang bergambarkan Soekarno dan Mohammad Hatta, namun pada saat balas budinya nanti hanya diberikan buket bingkisan berupa cemilan saja, kan nggak mungkin karena beban moral itu itu yang membatasi.
Ini yang saya maksud, buket wisuda bisa jadi ajang balas budi, namun buket sekarang nggak semudah dan nggak semurah dulu lagi. Ujungnya kan, buket wisuda hanya jadi beban moral saja.
Lagian juga, buket ini harusnya hanya sekadar hadiah, bukan untuk dijadikan sebagai ajang balas budi, karena kemampuan seseorang memberikan buket yang seimbang juga nggak semua orang memiliki itu. Namun, karena sudah mendarah daging, buket wisuda ini pun kini seakan menjadi hal wajib ketika ada wisuda, dan juga dijadikan sebagai ajang balas budi.
Sangat lumrah kita bisa saksikan, saat seseorang ramai-ramainya berpose dan dihiasi dengan buket, dan ketika ada yang nggak ada buketnya, itu terasa terdiskriminasi aja. Itu mengapa terasa ganjil, karena orang di sekelilingnya pada ada semua buketnya, dan yang terjadi justru bisa merasa nggak enak.
Mending buket wisuda dihapuskan aja
Maksud saya gini, mending buket wisuda ini dihapuskan aja daripada hanya menjadi beban moral saja. Buket yang dulunya hanya sekadar bunga, tapi kini sudah menjadi lembaran-lembaran duit. Mungkin maksudnya baik, tapi efeknya itu bisa menjadi moral jika itu terus dilestarikan.
Nggak bisa dipungkiri, penilaian, perasaan, dan beban moral akan terkontaminasi dengan adanya buket wisuda tersebut, apalagi kalau buket yang sudah modern.
Jadi menurut pikiran saya, yang mungkin orang nggak bakalan setuju, sebaiknya buket wisuda ini dihapuskan saja, ujungnya bisa jadi beban moral. Apakah mungkin bisa dihapuskan? Ya bisa saja, kalau memang mau, pihak kampus bisa mensosialisasikan itu, bahwa wisuda dan buket wisuda bukan hal wajib, tapi itu hanya seremonial saja.
Baca Juga
-
Akurat dan Gampang, Ini 7 Aplikasi Ramalan Cuaca untuk HP Android dan iPhone
-
Qurban di Zaman Digital: Tantangan dan Harapan Generasi Muda
-
Terbaru di 2025! Ini 5 Cara Menggandakan Aplikasi di Ponsel Android
-
Bisa Langsung Install! Begini Cara Unduh WhatsApp di iPad
-
Pancasila di Ujung Jari: Refleksi Hari Lahir 1 Juni di Era Digital
Artikel Terkait
Kolom
-
Daster Bukan Simbol Kemalasan: Membaca Ulang Makna Pakaian Perempuan
-
Ekosistem Raja Ampat Rusak Demi Nikel, Masihkah Perlu Transisi Energi?
-
Mainan Anak dan Stereotip Gender: Antara Mobil-mobilan dan Boneka
-
Qurban di Zaman Digital: Tantangan dan Harapan Generasi Muda
-
Makna Kurban dalam Kehidupan Modern: Antara Ibadah dan Kepedulian Sosial
Terkini
-
Humor Gelap di Balik Rencana Perampokan dalam Buku 24 Jam Bersama Gaspar
-
Media Asing Prediksi Nasib Buruk Indonesia di Babak Round 4, Seperti Apa?
-
Kualifikasi Piala Dunia 2026: Ada yang Aneh dengan Permainan Justin Hubner di Laga vs China!
-
Banyak yang Terkecoh! Momen Unik Jay Idzes Korbankan Dirinya demi Menjaga Mental Ole Romeny
-
Sprint Race GP Aragon 2025, Selangkah Lagi Marc Marquez Raih Hasil Sempurna