Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi perempuan insecure (Freepik/Pikisuperstar)

Di tengah hiruk pikuk kemerdekaan, ironisnya masih banyak di antara kita yang terbelenggu oleh warisan kolonialisme. Salah satu manifestasinya yang paling nyata adalah obsesi masyarakat Indonesia terhadap kulit putih.

Kenapa kita, yang telah merdeka lebih dari tujuh dekade, masih terpaku pada standar kecantikan yang dipaksakan oleh penjajah? Padahal, keberagaman warna kulit adalah anugerah yang seharusnya kita syukuri.

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa produk pemutih kulit begitu laris manis di pasaran? Mengapa banyak orang rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mendapatkan kulit yang lebih cerah?

Seolah-olah kulit putih adalah tiket emas menuju kesuksesan dan kebahagiaan. Padahal, sama seperti warna pelangi yang terdiri dari berbagai spektrum, keberagaman warna kulit juga memperkaya keindahan manusia.

Fenomena yang tidak asing saat ini, dalam media sosial yang menunjukkan betapa masyarakat Indonesia, baik pria maupun wanita, mengagungkan kulit putih dan menyebut mereka yang tidak seputih standar dengan istilah beraura magrib, suram, gelap, kumal, tidak bersih, dan sebagainya.

Diskriminasi ini lantas menimbulkan gejala insecure, merasa rendah, dan tidak percaya diri. Beberapa orang bahkan mempertanyakan mengapa kulit harus putih?

Apa pengaruhnya dalam hidup, dan mengapa banyak orang terobsesi memilikinya. Katanya sudah merdeka, tapi kok budaya kolonialisme masih saja dipelihara.

Akar obsesi kulit putih di Indonesia sesungguhnya sangat dalam, tertanam kuat dalam sejarah kolonialisme yang panjang.

Penjajahan tidak hanya merampas kekayaan alam kita, tetapi juga menanamkan nilai-nilai dan standar yang menguntungkan penjajah. Salah satunya adalah pandangan bahwa kulit putih adalah simbol keindahan dan superioritas.

Selama masa kolonial, hierarki sosial yang kaku dibangun berdasarkan warna kulit. Orang-orang Eropa dengan kulit putih ditempatkan pada strata sosial tertinggi, sementara pribumi dengan kulit lebih gelap ditempatkan pada strata yang lebih rendah.

Mereka berkeyakinan bahwa kulit putih adalah simbol keindahan, kecanggihan, dan status sosial yang tinggi. Standar kecantikan yang mengagung-agungkan kulit putih kemudian menjadi alat untuk memperkuat hierarki sosial ini dan melegitimasi dominasi kolonial.

Setelah kemerdekaan, nilai-nilai kolonial tidak serta-merta hilang begitu saja. Sebaliknya, nilai-nilai tersebut terus terinternalisasi dalam masyarakat melalui berbagai cara, termasuk pendidikan, keluarga, dan interaksi sosial.

Hal ini menciptakan kompleks inferioritas di kalangan masyarakat terjajah, termasuk Indonesia. Untuk mengatasi perasaan inferior ini, banyak orang berusaha untuk meniru standar kecantikan yang ditetapkan oleh penjajah, yaitu kulit putih.

Sampai saat ini, obsesi terhadap kulit putih telah melahirkan standar kecantikan yang tidak realistis dan sulit dicapai. Akibatnya, banyak individu, terutama perempuan, mengalami gangguan citra diri.

Mereka merasa tidak cukup baik, tidak cantik, dan tidak layak jika warna kulitnya tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Hal ini dapat memicu munculnya rasa rendah diri, depresi, dan kecemasan yang berkepanjangan.

Demi mencapai kulit yang lebih cerah, banyak orang rela mengeluarkan biaya yang besar untuk membeli produk-produk kecantikan yang diklaim dapat memutihkan kulit atau melakukan operasi yang membuat tubuh mereka mendekati apa yang diidamkan.

Perilaku konsumtif yang berlebihan ini tidak hanya membebani keuangan, tetapi juga dapat memicu masalah kesehatan kulit akibat penggunaan produk yang mengandung bahan kimia berbahaya. Ironisnya, dalam upaya untuk merasa lebih cantik, mereka justru merusak kesehatan diri sendiri.

Obsesi kulit putih juga dapat berdampak negatif pada hubungan sosial individu. Mereka yang memiliki warna kulit lebih gelap seringkali merasa diskriminasi dan dikucilkan dalam lingkungan sosial.

Hal ini dapat menyebabkan isolasi sosial dan kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain. Selain itu, perbandingan fisik yang terus-menerus dengan orang lain yang dianggap lebih cantik dapat merusak persahabatan dan hubungan keluarga.

Jika kita perhatikan rak-rak kosmetik di berbagai toko, produk pemutih kulit mendominasi hampir separuh bagian. Iklan-iklan yang menjanjikan kulit putih bersinar juga membanjiri berbagai media. Fenomena ini menunjukkan betapa maraknya konsumsi produk pemutih kulit di masyarakat kita.

Media massa, khususnya iklan, memiliki peran yang sangat signifikan dalam memperkuat stereotipe kulit putih. Iklan-iklan yang menampilkan model dengan kulit putih sempurna dan produk-produk yang menjanjikan kulit cerah bersinar secara terus-menerus membombardir masyarakat.

Citra ideal yang disajikan oleh media ini kemudian menjadi acuan bagi banyak orang, terutama perempuan, dalam menilai kecantikan diri mereka. Akibatnya, banyak yang merasa tidak percaya diri dengan warna kulit asli mereka dan berusaha untuk memutihkannya.

Obsesi kulit putih telah menimbulkan dampak yang luas, tidak hanya pada individu tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan.

Gangguan citra diri menjadi masalah yang semakin umum, di mana banyak individu, terutama perempuan, merasa tidak cukup baik atau cantik jika warna kulit mereka tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Hal ini dapat merusak kepercayaan diri dan harga diri mereka.

Selain itu, diskriminasi berdasarkan warna kulit masih terjadi, dengan individu berkulit lebih gelap seringkali dikaitkan dengan status sosial yang lebih rendah.

Budaya populer, khususnya selebriti, influencer, dan media sosial, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk persepsi masyarakat tentang kecantikan. Mereka sering kali menyajikan citra ideal yang tidak realistis, ketika kulit putih dan fitur wajah tertentu dianggap sebagai standar kecantikan.

Dengan terus mempromosikan produk-produk pemutih kulit dan menciptakan standar kecantikan yang tidak realistis, industri ini berhasil meraup keuntungan yang sangat besar.

Kurangnya edukasi tentang keberagaman dan penerimaan diri juga semakin memperparah masalah ini. Individu tumbuh dalam lingkungan yang terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain, terutama mereka yang dianggap cantik sesuai standar yang berlaku.

Tekanan sosial untuk tampil sempurna dapat membuat individu merasa terisolasi dan tidak percaya diri, terutama jika mereka tidak sesuai dengan standar tersebut.

Untuk mengatasi masalah obsesi kulit putih dan menciptakan standar kecantikan yang lebih sehat, kita perlu melakukan dekolonisasi pikiran.

Kita harus melepaskan diri dari belenggu standar kecantikan yang dipaksakan oleh kolonialisme dan budaya populer. Mari jadikan diri kita agen perubahan dengan menolak produk pemutih kulit, mendukung merek lokal yang inklusif, dan menyebarkan pesan positif tentang keberagaman.

Sangat penting untuk menyadari bahwa kecantikan itu relatif dan tidak ada satu standar kecantikan yang berlaku untuk semua orang.

Setiap individu memiliki keunikan dan keindahannya masing-masing. Menerima diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah langkah pertama menuju kebahagiaan dan kesehatan mental yang baik.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati