Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Eunike Dewanggasani
Ilustrasi kamus (pexels.com/pixabay)

Saya tinggal di lingkungan dan keluarga yang masih awam dengan bahasa asing lain selain bahasa Inggris. Dari generasi buyut, kakek, hingga orang tua dan om-tante, tidak ada yang mendalami ilmu kebahasaan. 

Sebagian besar orang-orang di keluarga saya kalau tidak masuk ilmu teknik ya ilmu bisnis/ekonomi. Baru saya saja pelopor orang yang benar-benar mendalami ilmu bahasa dan menjadikannya sumber penghasilan sampai sekarang.

Kalau sedang mengobrol dengan orang lain atau ketika reuni keluarga, saya sudah sering mendengar “Lhoalah, ngapain ngambil jurusan bahasa? Les aja kan bisa!”

Jujur, saking seringnya mendengar ocehan seperti ini telinga saya rasanya sudah kebal. Daripada harus menjelaskan panjang lebar, mungkin ada baiknya saya tulis saja topik ini menjadi artikel. Itung-itung bisa mematahkan opini keliru tentang para om dan tante yang kurang mengerti tentang bidang yang saya geluti sekarang.

Cakupan topik dan penjurusan yang luas

Nah, ini poin yang sangat penting, karena bahasan ini menjawab pertanyaan di atas barusan. Jadi begini, les bahasa dan kuliah jurusan bahasa itu jelas sangat jauh berbeda.

Kalau les, biasanya yang ditekankan adalah kemampuan praktikal seperti mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Cakupan yang dipelajari pun biasanya seputar kegiatan sehari-hari untuk komunikasi dalam masyarakat. 

Sedangkan di kuliah, yang dipelajari jelas lebih banyak. Kami juga belajar mengenai sejarah bahasa tersebut, budaya penuturnya, kajian linguistik, serta topik yang lebih spesifik.

Contohnya saja, di bahasa Mandarin ada penjurusan khusus seperti Tourism Mandarin, Business Mandarin, Mandarin Translation, Mandarin Interpretation, dan lain-lain. 

Tiap penjurusan ini memiliki banyak istilah dan pedoman khusus sesuai bidang masing-masing. Jadi, bukan hanya karena belajar satu bahasa, otomatis seseorang bisa terjun ke semua bidang sekaligus. 

Contohnya saja saya, ketika lulus saya bekerja sebagai penerjemah subtitle dan dokumen. Tapi karena ganti pekerjaan menjadi seorang pengajar, saya harus mendalami bahasa Mandarin khusus di bidang edukasi. 

Selain itu, saya juga harus belajar mengenal psikologi murid dan tata cara membuat silabus, materi, dan assessment test untuk siswa ajar saya.

Pekerjaan ini sebetulnya tidak bisa digantikan 100% oleh mesin

”Buat apa belajar bahasa, pakai AI saja kan bisa!” Nah, kalau ini adalah perkataan yang baru saya dengan akhir-akhir seiring dengan maraknya chatGPT dan teman-teman lainnya. 

Kontras dengan opini umum, dosen-dosen dan ahli bahasa setuju bahwa pekerjaan penerjemahan tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh mesin.

Bahasa itu dinamis, yang artinya selalu berkembang dan berubah sehingga tidak bisa memiliki satu patokan tetap yang awet untuk jangka waktu lama.

Di bidang bahasa, masih banyak orang-orang yang menjadi proofreader untuk MTPE (machine translation post-editing), yang artinya bahkan hasil terjemahan mesin pun masih harus melalui double check dari manusia.  Pun cara untuk menyempurnakan sebuah mesin penerjemah ya memang harus ada input dari manusia. 

Terlebih bahasa itu erat kaitannya dengan makna, budaya, dan slang. Ketiga hal ini hanya bisa diketahui dan dipahami oleh manusia, bukan mesin. Buktinya saja, sudah menjadi rahasia umum kalau terjemahan Google Translate tidak selalu akurat.

Harga jasanya tidak semurah yang dibayangkan

Waktu salah satu kerabat meminta jasa saya menerjemahkan dokumen, mereka terkejut ketita saya memberi tahu rate/harga terjemahan per kata milik saya.

Katanya “Lho kok mahal?” Sayangnya, orang awam memang masing menganggap penerjemahan itu sesuatu yang harganya seperti kacang rebus di pinggir jalan. Padahal ya memang kodratnya sudah begitu. 

Semakin banyak pengalaman dan jam terbang seseorang dalam bidang penerjemahan, rate-nya bisa semakin mahal.  Tapi harga mahal ini sepadan dengan kualitas terjemahan, serta waktu pengerjaan yang biasanya cepat. 

Kalau dibilang kenapa mahal, menurut saya ya memang ini kompensasi dari waktu bertahun-tahun yang sudah kami habiskan untuk mendalami bidang bahasa ini.

Bergelut dengan bahasa itu melelahkan

Sebagai seorang pejuang WFH/WFA, memang yang saya butuhkan hanyalah laptop dan koneksi internet. Saya pun bisa seharian bekerja di dalam kamar tanpa perlu keluar rumah. 

Mirisnya karena hal ini, banyak yang menganggap pekerjaan saya itu enteng. Tapi kenyataannya, remote working seperti ini juga bisa bikin fisik capek.

Contohnya, mata yang perih karena kelamaan melihat layar, pusing, dan punggung bagian bawah yang sakit karena terlalu banyak duduk.

Selain tubuh fisik, otak dan kepala juga kena dampaknya, lho. Penerjemahan itu melelahkan karena otak harus aktif bekerja dalam dua/tiga bahasa di waktu bersamaan. 

Terlebih pekerjaan sebagai seorang interpreter (penerjemah lisan), wah, bukan main capeknya. Sakit kepala karena terlalu banyak menerjemahkan itu nyata, rasanya seperti habis mengerjakan ujian sepanjang hari tanpa jeda.

Itulah mengapa bahkan di acara dan situasi resmi (seperti kunjungan kenegaraan dan konferensi PBB) setidaknya untuk satu bahasa disediakan 2-3 penerjemah untuk saling bergantian/bekerja secara shift. 

Kenapa? Karena ya memang ini adalah tugas yang menguras tenaga, dan idealnya satu orang bekerja menerjemahkan paling lama 30-45 menit saja, setelah itu gantian dengan yang lain.

Nah, semoga dengan tulisan ini, banyak orang awam lebih sadar tentang pekerjaan saya (dan rekan-rekan sejawat yang lain) yang menjadi seorang penerjemah ini. Intinya nih ya, om dan tante, setiap pekerjaan itu ada kesulitannya masing-masing. 

Jadi baiknya kita tidak saling merendahkan atau menganggap enteng pekerjaan orang lain, apalagi kalau situ sendiri tidak berada dalam bidang yang sama dengan pekerjaan tersebut.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Eunike Dewanggasani