Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi dosen (Pexels/Andrea Piacquadio)

Kita sering mendengar ungkapan "semakin tinggi pohon, semakin kencang anginnya". Ungkapan ini seakan menjadi refleksi dari realitas yang sering kita temui di perguruan tinggi, terutama terkait dengan sikap dosen yang memiliki gelar akademik tinggi.

Ironisnya, tidak sedikit dosen dengan gelar profesor atau doktor yang justru menunjukkan sikap arogan dan enggan menerima kritik.

Gelar akademik memang merupakan sebuah prestasi yang patut diapresiasi. Namun, gelar semestinya tidak menjadi tameng untuk menutupi kekurangan dan kelemahan.

Sebaliknya, gelar seharusnya menjadi motivasi untuk terus belajar, berkembang, dan menjadi sosok yang lebih baik. Sayangnya, dalam beberapa kasus, gelar justru menjadi bumerang yang membuat seseorang merasa superior dan sulit untuk diajak berdiskusi.

Seorang dosen seharusnya menjadi sosok yang terbuka terhadap kritik dan saran. Mahasiswa sebagai generasi muda yang penuh ide dan semangat perlu didorong untuk berpikir kritis dan menyampaikan pendapatnya.

Namun, ketika dosen bersikap defensif dan tidak mau disalahkan, maka ruang untuk berdiskusi dan bertukar pikiran menjadi sempit. Akibatnya, mahasiswa akan merasa takut untuk bertanya atau menyampaikan pendapat yang berbeda sehingga proses pembelajaran menjadi kurang efektif.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi di kalangan akademisi? Nyatanya, ada beberapa faktor dapat menjelaskan mengapa fenomena ini terjadi.

Pertama, ego yang tinggi. Gelar akademik yang tinggi dapat memicu perasaan superioritas dan membuat seseorang merasa bahwa pendapatnya selalu benar.

Kedua, kurangnya kemampuan intrapersonal. Tidak semua orang dengan kecerdasan intelektual tinggi memiliki kecerdasan emosional yang memadai. 

Berikutnya, tekanan karier. Tekanan untuk terus menghasilkan karya ilmiah, mendapatkan promosi jabatan, atau memperoleh dana penelitian dapat membuat dosen merasa tertekan dan cenderung defensif ketika menerima kritik.

Terakhir, lingkungan kerja yang kurang kondusif, seperti kurangnya dukungan dari pimpinan atau rekan kerja, dapat memperkuat sikap defensif pada dosen.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya yang komprehensif dari berbagai pihak. Pertama, institusi pendidikan tinggi perlu menciptakan lingkungan akademik yang terbuka dan menghargai perbedaan pendapat.

Kedua, dosen perlu diberikan pelatihan yang memadai tentang bagaimana cara menjadi pendidik yang efektif, termasuk bagaimana cara menerima kritik dan masukan dari mahasiswa.

Ketiga, mahasiswa perlu didorong untuk lebih aktif dalam menyampaikan pendapat dan memberikan masukan kepada dosen dengan cara yang santun.

Selain itu, evaluasi kinerja dosen secara berkala dan objektif juga perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dosen yang memiliki sikap arogan dan memberikan pembinaan yang sesuai.

Gelar tinggi bukan jaminan bahwa seseorang akan menjadi dosen yang baik. Sikap arogan dan enggan menerima kritik justru dapat menghambat proses pembelajaran dan merusak reputasi institusi pendidikan.

Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan akademik yang kondusif dan mendorong pengembangan diri yang berkelanjutan bagi dosen.

Ingatlah bahwa seorang pendidik yang baik adalah mereka yang tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga memiliki sikap yang rendah hati, terbuka, dan mau belajar dari siapa saja.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati