Kita sering mendengar ungkapan "semakin tinggi pohon, semakin kencang anginnya". Ungkapan ini seakan menjadi refleksi dari realitas yang sering kita temui di perguruan tinggi, terutama terkait dengan sikap dosen yang memiliki gelar akademik tinggi.
Ironisnya, tidak sedikit dosen dengan gelar profesor atau doktor yang justru menunjukkan sikap arogan dan enggan menerima kritik.
Gelar akademik memang merupakan sebuah prestasi yang patut diapresiasi. Namun, gelar semestinya tidak menjadi tameng untuk menutupi kekurangan dan kelemahan.
Sebaliknya, gelar seharusnya menjadi motivasi untuk terus belajar, berkembang, dan menjadi sosok yang lebih baik. Sayangnya, dalam beberapa kasus, gelar justru menjadi bumerang yang membuat seseorang merasa superior dan sulit untuk diajak berdiskusi.
Seorang dosen seharusnya menjadi sosok yang terbuka terhadap kritik dan saran. Mahasiswa sebagai generasi muda yang penuh ide dan semangat perlu didorong untuk berpikir kritis dan menyampaikan pendapatnya.
Namun, ketika dosen bersikap defensif dan tidak mau disalahkan, maka ruang untuk berdiskusi dan bertukar pikiran menjadi sempit. Akibatnya, mahasiswa akan merasa takut untuk bertanya atau menyampaikan pendapat yang berbeda sehingga proses pembelajaran menjadi kurang efektif.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi di kalangan akademisi? Nyatanya, ada beberapa faktor dapat menjelaskan mengapa fenomena ini terjadi.
Pertama, ego yang tinggi. Gelar akademik yang tinggi dapat memicu perasaan superioritas dan membuat seseorang merasa bahwa pendapatnya selalu benar.
Kedua, kurangnya kemampuan intrapersonal. Tidak semua orang dengan kecerdasan intelektual tinggi memiliki kecerdasan emosional yang memadai.
Berikutnya, tekanan karier. Tekanan untuk terus menghasilkan karya ilmiah, mendapatkan promosi jabatan, atau memperoleh dana penelitian dapat membuat dosen merasa tertekan dan cenderung defensif ketika menerima kritik.
Terakhir, lingkungan kerja yang kurang kondusif, seperti kurangnya dukungan dari pimpinan atau rekan kerja, dapat memperkuat sikap defensif pada dosen.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya yang komprehensif dari berbagai pihak. Pertama, institusi pendidikan tinggi perlu menciptakan lingkungan akademik yang terbuka dan menghargai perbedaan pendapat.
Kedua, dosen perlu diberikan pelatihan yang memadai tentang bagaimana cara menjadi pendidik yang efektif, termasuk bagaimana cara menerima kritik dan masukan dari mahasiswa.
Ketiga, mahasiswa perlu didorong untuk lebih aktif dalam menyampaikan pendapat dan memberikan masukan kepada dosen dengan cara yang santun.
Selain itu, evaluasi kinerja dosen secara berkala dan objektif juga perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dosen yang memiliki sikap arogan dan memberikan pembinaan yang sesuai.
Gelar tinggi bukan jaminan bahwa seseorang akan menjadi dosen yang baik. Sikap arogan dan enggan menerima kritik justru dapat menghambat proses pembelajaran dan merusak reputasi institusi pendidikan.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan akademik yang kondusif dan mendorong pengembangan diri yang berkelanjutan bagi dosen.
Ingatlah bahwa seorang pendidik yang baik adalah mereka yang tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga memiliki sikap yang rendah hati, terbuka, dan mau belajar dari siapa saja.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Menilik Program, Konten, dan Viralitas: Semakin Viral, Semakin Tak Bermoral
-
Kreatif! PPG Unila Latih Anak Panti Ar-Ra'uf Syahira Buat Lilin Aromaterapi
-
Menyoroti Perdebatan Urgensi Acara Wisuda TK-SMA: Menggeser Prioritas?
-
PPG Bahasa Indonesia Tumbuhkan Minat Literasi dengan Pembelajaran yang Asik
-
Kreatif! PPG Bahasa Indonesia Bina Anak Panti Lewat Pelatihan Buket Bunga
Artikel Terkait
-
Pendidikan di Indonesia: Jokowi Beri Landasan, Prabowo Harus Bawa Terobosan
-
Refleksi 10 Tahun Pendidikan dan Harapan untuk Masa Depan
-
Pendidikan Mentereng Bella Fawzi, Pantas Tampil Percaya Diri Jadi Pembicara di Luar Negeri
-
KILAS dan Edukasi G-3R di Cimenyan: Membangun Kesadaran Pengelolaan Sampah
-
Difitnah Cuma Lulusan SMP, Riwayat Pendidikan Raffi Ahmad Tuai Sorotan
Kolom
-
Ngajar di Negeri Orang, Pulang Cuma Jadi Wacana: Dilema Dosen Diaspora
-
Percuma Menghapus Outsourcing Kalau Banyak Perusahaan Melanggar Aturan
-
Buku dan Martabat Bangsa: Saatnya Belajar dari Rak yang Sering Dilupakan
-
Menulis Tak Dibayar: Lowongan Kerja Jadi Ajang Eksploitasi Portofolio
-
Fleksibilitas dan Kecemasan: Potret Gen Z Hadapi Realita Dunia Kerja
Terkini
-
Ulasan Novel Holly: Rahasia Mengerikan di Balik Rumah Pasangan Terhormat
-
Aprilia Tolak Tawaran Jorge Martin, Honda Sudah Siapkan Senjata?
-
Agensi Umumkan aespa dan IZNA Bersiap untuk Comeback pada Juni 2025
-
5 Penjahat Boku no Hero Academia yang Layak Dimaafkan, Siapa Saja?
-
6 Rekomendasi Drama China dari Pemain The Prisoner of Beauty